BOOK
REPORT
PERSPEKTIF BUDAYA
(Bambang Widianto dan Iwan Meulia
Pirous)
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perspektif
Sosial Budaya
Disusun oleh :
Kelas D
Cheenia
Oktriyani (06.316.1111.146)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2013
IDENTITAS BUKU
Judul Buku :
Perspektif Budaya ; Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lectures
I-V/ 2004-2008
Pengarang : Disunting
oleh Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous
Tahun Terbit :
2009
Penerbit :
Rajawali Pers
Bab : V bab
Halaman :
378 halaman
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunianya saya dapat menyelesaikan Laporan Hasil Analisis Buku Perspektif Budaya ini tepat pada waktunya. Dimana laporan
ini saya buat berdasarkan hasil
dari apa yang saya pahami
setelah saya membaca buku
ini. Sehingga isinya pun murni dari apa yang saya mengerti sehingga senantiasa dapat berbagi ilmu
kepada pembaca secara tidak langsung.
Seiring dengan itu, saya mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat Bapak Dosen yang memberikan Mata kuliah ini, semoga Tuhan Yang Maha
Esa memberikan kesehatan serta rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
“Tiada
gading yang tak retak”. Saya
menyadari bahwa hasil analisis saya ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan laporan hasil analisis buku ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang
Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.
Sukabumi,
10 Juni 2013
Penyusun
DAFTAR
ISI
Identitas Buku
..............................................................................................
i
Kata Pengantar .............................................................................................
ii
Daftar Isi ......................................................................................................
iii
Pendahuluan ................................................................................................. iv
BAB I Ideologi dan Kebudayaan ......................................................... 1
1.1 Demokrasi
dan Kebudayaan (Jakob Oetama) ................................. 2
1.2 Kebijakan
Otonomi Daerah :
Otonomi Pendidikan Dalam Perspektif Sosial Budaya
(Achmad Fedyani
Saifuddin) ........................................................... 4
1.3 Rujukan
Lembaga-lembaga Demokrasi Dalam Ranah Komunitas
Lokal (PM Laksono) ........................................................................ 8
BAB II Terorisme
dan Kebudayaan ................…………….................. 10
2.1 Terorisme
dan Kebijakan Penanganannya (Ansyad Mbai)
.............. 10
2.2 Dimensi
Internasional Terorisme (Riza Sihbudi) ............................. 10
2.3 Perang
di Luar Kedaulatan (Sovereignty),
Perdamaian di Luar
Perwakilan (Representation) (Engseng Ho) .................................... 13
BAB III Penguatan
Negara, Integrasi Nasional, dan Kebudayaan .......... 15
3.1 Penguatan
Negara dan Integrasi Nasional (Juwono
Sudarsono) ..... 16
3.2 Integrasi
Nasional dan Penguatan Negara Dalam Perspektif
Antropologi, Kasus Papua (Nafi
Sanggenafa) ................................. 17
3.3 Integrasi
Nasional dan Penguatan Negara (Qodri
Azizy) ................. 20
3.4 Suatu
Pendekatan Budaya dan Etika Dalam Resolusi
Konflik (Sulaiman Mamar) .............................................................. 20
3.5 Nasionalisme
Kenegaraan (Orde) Baru: Dikaji Ulang
(Budi Sasonto SJ) ............................................................................. 22
BAB IV Pembangunan
Karakter Bangsa dan Kebudayaan ………......... 24
4.1 Pembangunan
Karakter Bangsa
(Gumilar R. Somantri) …………..................................................... 24
4.2 Generasi
Muda Indonesia: Siapa dan Bagaimanakah Mereka?
(Selly Riawanti) ................................................................................ 24
4.3 Membangun
Kembali Karakter Bangsa: Suatu Diskusi Teoritis
(Achmad Fedyani Saifuddin) ........................................................... 26
4.4 Membangun
Karakter Bangsa Dalam Perspektif Papua
(J.R Mansoben) ................................................................................ 28
4.5 Kebijakan
Pembangunan Karakter Bangsa: Suatu Tinjauan
Prospektif (Meutia Hatta Swasono)
................................................. 29
BAB V Kebudayaan
Dan Lingkungan …………………...………......... 30
5.1 Swadaya
dan Kolaboratif Komunitas Adat Dalam Melestarikan
Lingkungan dan Sumber Daya Alam (Kusnaka
Adimihardja) ….... 30
5.2 CSR
Dalam Penyelenggaraan Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Indonesia (Noke Kiroyan) ................................................................ 32
5.3 Praktik-praktik
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ancaman
Bencana Ekologis di Indonesia (Chalid
Muhammad) ..................... 32
5.4 Manusia
dan Lingkungan Hidup (S. Boedhisantoso)
...................... 33
BAB VI Penutup ...................................................................................... 34
PENDAHULUAN
PERSPEKTIF BUDAYA: SEBUAH AWAL
Bambang Widianto
Krisis moneter 1997 yang dimulai di
Thailand dan akibatnya yang menjalar ke Indonesia, berpengaruh pada reformasi
di Indonesia pada bulan Mei 1998. Setelah reformasi berlangsung, beberapa tahun
kemudian ada pertanyaan yang muncul, di kalangan ilmuwan sosial: “Mengapa
pemulihan kesejahteraan tidak sesuai dengan harapan?” Pertanyaan ini terjadi saat
melihat bahwa beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan
Korea Selatan yang terkena krisis moneter mampu memulihkan diri dengan relative
lebih cepat. Persoalan setelah itu adalah bagaimana menghadapi krisis moneter
tahun 2008 yang diawali dari Amerika, saat pemulihan keadaan di Indonesia
dianggap belum memuaskan? Di kalangan Ilmuwan Antropologi yang sangat suka
mempergunakan gagasan kebudayaan, evolusi, dan adaptasi, muncul pertanyaan: “
Bagaimana dan apa yang salah dari aspek kebudayan?”
Koentjaraningrat menyebut kebudayan
sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat, dan dijadikan milik bersama melalui proses belajar
(1980). Kehidupan bermasyarakat, merupakan tujuan bagi masyarakat dan negara
yang menjadi kerangka atau blue-print.
Budaya (cultural) sebagai kata sifat menandai titik pandang permasalahan. Perspektif budaya (cultural perspective) melihat
pada norma dan nilai yang terkandung dalam gagasan, perilaku, dan karya
manusia. Di dalamnya ada refleksi dan proyeksi yang melihat peran ilmuwan
dan peminat ilmu sosial yang lain di masa depan.
Peran dalam posisinya sebagai interpreter, basic scientist, sebagai consultant, dan sebagai activist yang mampu berkomunikasi.
Buku ini mengarah pada sejumlah pokok
pembahasan dalam rangkaian Koentjaraningrat Memorial Lecture sejak 2004 hingga 2008. Pokok pembahasan tersebut
adalah demokrasi, terorisme, penguatan negara, karakter bangsa, dan masalah
lingkungan. Selanjutnya bagian
pendahuluan ini berawal dari telaah atas problem yang masih ada dan laten,
disertai potensi penyelesaiannya.
I.
Problem
Problem secara sederhana adalah kenyataan
yang tidak sesuai dengan harapan. Kegagalan mencapai harapan akan menimbulkan
kekecewaan. Di sini, program kerja yang tidak terpenuhi dapat membuat
kekecewaan yang berakhir pada hilangnya kepercayaan sosial. Kegagalan negara
memenuhi janjinya dapat mengecewakan rakyatnya dan menghilangkan kepercayaan
sosial. Roger Kasperson sebagai pakar risiko menyebutkan kepercayaan sosial
mensyaratkan antara lain komitmen (commitment),
kompetensi (competence), kepedulian (care), dan kepastian (predictability). Pemenuhan tanggung jawab sosial (social responsibility) akan meningkatkan kepercayaan sosial.
Tanggung jawab yang tidak terpenuhi akan menjadi obsesi (obsession) yang mendorong dan memengaruhi pengambilan putusan
secara terus-menerus. Obsesi untuk memulihkan sumber daya alam demi generasi
yang akan datang adalah obsesi untuk memenuhi tanggung jawab. Obsesi pemulihan
lingkungan dan kepercayaan rakyat yang mendalam, dapat menjadi sebuah “api yang
tak kunjung padam”, dan menjadi keyakinan yang bisa saja memanfaatkan dan
dimanfaatkan berbagai ideologi.
Ideologi sebagai keyakinan buatan
manusia, berpengaruh pada proses pengambilan keputusan. Rangkaian pengambilan
keputusan ini mencakup: penentuan problem, penentuan tujuan, cara mencapai
tujuan, dan tolok-ukur kemajuan pembangunan. Peserta dan metode pengambilan
keputusan, serta tujuan dan manfaat dari suatu keputusan merupakan faktor
penentu dalam menerapkan ideologi. Penerapan keyakinan dapat tampak melalui
ungkapan “kami” dan “kita” seperti yang pernah dibahas oleh Fuad Hassan. Hal
ini bisa menjadi contoh yang mengganjal jika kita menyatakan dengan “Manfaatnya
adalah hak kami”. Konsep “kami” dan “kita” berpengaruh dalam dialog antara
kelompok dan sewaktu penerapan ideologi. Jadi perbedaan itu mensyaratkan adanya
perlakuan yang adil, yang juga merupakan syarat bagi penerapan demokrasi.
Kegagalan pelaksanaan demokrasi membuat munculnya
Terorisme dan Kekerasan. Kekerasan antarkelompok memperlemah Kesatuan dan
Penguatan Negara. Hubungan antarkelompok yang kuat mensyaratkan kesamaan
karakter bangsa, dan karakter bangsa yang baik dapat menghadapi tekanan global.
Globalisasi dapat menghancurkan potensi lingkungan yang ada. Potensi lingkungan
tersebut adalah modal bagi generasi masa depan. Pengambilan keputusan yang adil
tentunya perlu mempertimbangkan juga generasi masa depan.
Penerapan Ideologi
Kegagalan untuk memulihkan diri di sekitar
1997-1998 dianggap berasal dari terpusatnya (centralized) pengambilan keputusan, hingga banyak pihak yang merasa
diabaikan. Di sini tak ada kesempatan bagi daerah dan rakyatnya untuk ikut
menyampaikan gagasannya dan ikut menentukan arah keputusan. Rancangan dan
putusan dibuat di pusat, sementara daerah hanya menerima hasilnya saja tanpa
bisa ikut aktif dalam pengambilan keputusan. Pengesahan putusan yang dibuat
oleh tiga partai di DPR di masa Orde Baru seperti ritus yang semu (empty ritual), tanpa tanya jawab dan koreksi. Bahkan pernah terjadi sebelumnya
bahwa, microphone di dalam sidang
parlemen hanya ada satu yang bisa (boleh) dipakai. Apakah ada yang salah dengan
demokrasi di Indonesia? Dapatkah semua pihak dan perorangan ikut serta di
parlemen sementara suatu kenyataan adalah, bahwa di Indonesia ada sebanyak 657
suku bangsa, dan lebih dari 700 bahasa yang semuanya tersebar di 33 provinsi?
Ideologi dalam sistem budaya adalah
sebuah keyakinan yang juga alat pembenaran (justification)
dan akses dalam memakai berbagai sumber daya kemasyarakatan (socio-political resources) yang ada.
Upaya penerapan pengambilan keputusan yang demokratis yang mengarah pada
munculnya Undang-Undang Otonomi Daerah didasarkan pada pemikiran bahwa semua
wilayah memiliki hak yang sama, dan dengan kekhasan yang berbeda tidak seperti
yang dibayangkan oleh Pusat. Untuk itu dengan otonomi daerah, keputusan di
pusat diubah ke tingkat provinsi-kabupaten, dan menyertakan daerah-daerah
bagiannya (kecamatan dan desa atau kelurahan). Pemilihan presiden di parlemen
oleh partai politik dianggap tidak memuaskan. Pada tahun 2004 dipakailah
pemilihan presiden secara langsung. Di sini ideologi demokrasi sebagai bagian
dari sistem budaya, seakan-akan menjadi mantra manjur untuk menjawab kegagalan pemulihan
ekonomi. Adanya kesempatan bagi semua pihak tanpa aturan yang jelas dapat
mengarah pada kekacauan, yang menjadi suatu keadaan yang anarkis.
Beberapa pembicara pada KML I
menyampaikan telaah mengenai Ideologi Demokrasi. Pemakalah pertama, yaitu Jakoeb
Oetama membahas ideologi demokrasi dengan ganjalan pola pemikiran yang
otokratis dari pengalaman di Amerika Tengah. Pemakalah Kedua, yaitu Achmad
Fedyani Saifuddin menyampaikan penentuan program pendidikan yang tidak melihat
pada kepentingan penduduk atau komunitas. Pemakalah Ketiga, yaitu PM Laksono
membahas strategi menjaga pelaksanaan ideologi demokrasi agar sesuai dengan
rohnya, yaitu keterlibatan warga dan kesetaraan.
Terorisme
Saat
implementasi ideologi demokrasi dilanjutkan dengan aturan yang tidak rinci, clash dan terror di berbagai wilayah dan
provinsi di Indonesia tetap tidak berkurang. Sifat multicultural dari Republik
Indonesia memungkinkan suatu kelompok tidak terwakili. Keadaan ini mengarah
pada anggapan terjadinya diskriminasi atau pembedaan pelayanan. Tidak adanya
wakil dalam pengambilan keputusan akan tampak sebagai ketidakadilan. Informasi
yang tak jelas dapat ditafsirkan sebagai manipulasi, ketegasan pelaksanaan
hukum tanpa pengesahan pengadilan tampak sebagai suatu penindasan. Penindasan
dan ketidakadilan cenderung mengawali munculnya gagasan baru, yaitu melakukan
terror. Jika konflik adalah pertentangan beberapa gagasan, maka clash adalah pertentangan dengan
kekerasan yang tampak dari perkelahian hingga pertempuran, lebih jauh lagi
terror adalah tindakan kekerasan untuk memengaruhi keputusan dengan menciptakan
kecemasan dan ketakutan.
Pemakalah pada KML II yang membahas
mengenai terorisme ada sebanyak 3 orang. Pemakalah pertama yaitu Arsyad Mbai
menyampaikan seluk beluk terorisme. Pemakalah kedua membahas perilaku terror
yang dapat saja terjadi di setiap pihak yang ada dalam arena konflik. Pihak itu
selain pihak yang tertindas dapat juga yang sedang berkuasa dengan
mempergunakan “stick and carrot”.
Pemakalah ketiga, yaitu Engseng Ho menyajikan jalan keluar berupa pendekatan di luar kelembagaan
formal yang menjembatani pihak-pihak yang terlibat konflik.
Integrasi dan Penguatan Negara
Teror
dan kekerasan, kegagalan pelaksanaan demokrasi mengarah pada munculnya
kerapuhan dalam NKRI. Hal ini tak lepas dari pola pemerintahan. Di masa
masyarakat agararia, staf kerajaan saat itu adalah abdi penguasa, di masa
industri staf pemerintahan adalah abdi negara dan pelayan masyarakat. Kegagalan
pelaksanaan tugas pemerintahan sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat dapat
mengarah pada kehancuran negara.
Akibat suatu bentrokan (clash) dapat menjadi kehancuran fisik seperti bangunan (fasilitas umum
dan sosial). Kehancuran fisik juga dapat terjadi karena bencana alam. Ada
potensi kerapuhan saat pemerintah tidak mampu menciptakan jalinan kerja sama
antara berbagai pihak pemangku kepentingan di dalam negara. Penguasa sering
mempergunakan sumber daya kemasyarakatan berdasarkan kewilayahan atau kelompok
etnis ataupun keagamaan untuk menjalin kerjasama. Namun ada juga orang yang
memakai sumber daya kemasyarakatannya untuk kepentingan kelompoknya. Sumber
daya kemasyarakatan lain dapat melalui media bahasa dan sejarah kewilayahan
memiliki kekhasan historis dan geografis. Pertanyaan lebih jauh lagi adalah bagaimana
keanekaragaman kelompok yang memiliki perbedaan latar belakang dapat
terintegrasi di Indonesia, seperti misalnya latar belakang Melanesoid dan
Mongoloid. Apakah sebuah “penanda” atau “brand” yang perlu dibuat atau,
dilakukan pencarian suatu nilai yang sama dari berbagai kelompok etnis yang
berbeda dalam adat-istiadat? Bagaimana dengan karakter bangsa jika melihat
demikian kompleksnya warga Indonesia?
Dalam tema Integrasi Nasional dan
Penguatan Negara ada sejumlah pembicara. Pembicara pertama, yaitu Juwono
Sudarsono menyampaikan mengenai Keadilan Sosial yang menjadi perekat integrasi
bangsa dan penguatan negara. Pemakalah kedua, yaitu almarhum Qodri Azizy yang
saat itu membahas mengenai pemerintahan dalam sebuah negara yang mengalami
perubahan dari abdi penguasa atau kraton, menjadi pelayan masyarakat. Pemakalah
ketiga, yaitu Pak Nafi Sangganefa menyajikan mengenai kesulitan dalam integrasi
nasional terutama saat mengahadapi ciri-ciri tubuh manusia yang tampak dari
kelompok Melanesoid dan Mongoloid. Pemakalah keempat, yaitu Sulaiman Mamar
memberikan gagasan mengenai perlunya pendidikan Etika yang dapat menjembatani
hubungan antaretnis dalam sebuah bentrokan (clash).
Kehancuran fisik karena gempa dapat menjadi kehancuran masyarakat saat daya
juang tiap individu menyusut dan hilang. Pertanyaannya mengarah pada pemerintah
sebagai abdi negara, yaitu bagaimana mencegah kehancuran. Bagaimana
menyampaikan gagasan pemulihan diri serta membangkitkan daya juang yang tinggi.
Budi Susanto menyampaikan mengenai fenomena pemasangan spanduk setelah gempa
sebagai media komunikasi. Media komunikasi dengan isi ungkapan yang
membangkitkan kembali daya juang (fighting
spirit) dan memberikan semangat, untuk tetap hidup.
Harapan atas Karakter Bangsa
Karakter
seseorang adalah kecenderungan dalam hubungan dengan orang lain (interpersonal disposition) yang menjadi
ciri. Karakter bersama-sama dengan pola organisasi (modes of organization) dan pola perilaku perorangan (behavioral traits) membentuk suatu
kepribadian (Philip Bock, 1980). Daya juang atau sikap ngotot dalam menyelesaikan tugas dapat menjadi karakter sekelompok
orang. Kumpulan cirri individual ini menjadi karakter suatu bangsa. Gagasan
karakter bangsa (national character)
muncul dari dasar pemikiran bahwa para warga dari suatu wilayah akan selalu
berbagi suatu tradisi sosial. Tradisi kemasyarakatan terlihat dalam pola
organisasi yang dianut masyarakat dalam suatu kebudayaan. Penerusan tradisi
yang paling nyata tampak pada kehidupan pasangan suami istri dan pengasuhan anak.
Tradisi tersebut membentuk kecenderungan dalam tanggapan, seperti pengambilan
keputusan, dan pelaksanaan keputusan. Karakter suatu bangsa mencerminkan pola
tanggapan atas suatu kasus, putusan dan tindakannya.
Rian Wynne dan Kerstin Dressel (2001) menyebutkan
mengenai perbedaan tanggapan atas penyakit sapi gila (bovine spongiform encepphalophaty=BSE) yang terjadi di industry
sapi potong Inggris. Di pihak Inggris kalangan Industriawan sapi-potong,
birokrat departemen pertanian dan perdagangan di Ingrris serta para ilmuwannya
memiliki kecenderungan berpikir pragmatis, serta bertindak berdasarkan bukti
keilmuwan yang empiris. Pihak continental Eropa cenderung pada prinsip ilmu
pengetahuan dengan idealisme dan kehati-hatian sudah menentang impor daging sapi
dari Inggris walaupun belum terbukti. Dari pihak Inggris baru bertindak setelah
ada korban manusia. Dikalangan Eropa tanggapan, putusan dan tindakan dilakukan
dengan sadar berdasarkan gagasan yang bertujuan menghindari risiko. Antropolog
Philip Bock (1980) saat membahas karakter bangsa menyebutkan bahwa orang
Inggris cenderung bertindak mengambil risiko, sedangkan orang-orang Prancis
dari daratan Eropa cenderung memikirkan risiko lebih dahulu dan bertindak
kemudian. Karakter orang-orang Eropa continental saat ini tak beda jauh dari
peribahasa “sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tidak berguna”. Tentu hal
ini berbeda dengan karakter Adolf Hitler yang sama dengan seorang bujangan.
Adolf Hitler memiliki hubungan interpersonal sebagai bujangan, ia baru menikah
dengan Eva Braun beberapa saat menjelang bunuh diri.
Sikap pantang menyerah mencerminkan daya juang
yang tinggi. Daya juang ini dapat menjadi karakter dari sekelompok orang atau
bangsa. Gumilar Somantri menyampaikan mengenai pembangunan karakter yang
menjadi bagian dalam kepribadian. Kepribadian yang dibutuhkan untuk pemulihan
kegiatan Industri, yang berarti juga pemulihan ekonomi. Achmad Fedyani
Saifuddin menyebutkan mengenai pembentukan karakter melalui sekolah. Keluarga
merupakan saah satu bagian dari pendidikan di luar sekolah, di sini Johz
Manzoben memberikan makalah mengenai hubungan kekerabatan yang melampaui
batas-batas keluarga hingga menimbulkan potensi yang dapat menggerogoti
kepercayaan pada organisasi pemerintah. Selly Riawanty membahas kaum muda dan
pendidikan di daerah terisolir, daya juang yang harusnya dimiliki untuk
belajar. Meutia Hatta menyebutkan mengenai beberapa sifat manusia yang
diharapkan di masa depan sebagai bagian dari kepribadian yang berpengaruh dalam
hubungan antara perorangan (intrpersonal
relation).
Lingkungan yang Rusak
Walhi menyatakan bahwa Indonesia
mengalami kerusakan lingkungan dengan kehilangan hutan sekitar 3,4 juta hektar
per tahun. Informasi lain meneyebutkan bahwa sebanyak 70 juta meter kubik kayu
telah ditebang secara illegal. Indonesia sebagai negara dengan sekitar 17ribu
pulau, dianggap memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Ada berbagai bentuk
ekosistem yang membentang dari daerah pesisir hingga pegunungan. Keadaan
perairan lautnya juga memiliki kekhasan dimulai dari daerah permukaan laut
hingga palung samudra. Dengan keanekaragaman ini, Indonesia sebenarnya dalah
salah satu Taman Firdaus yang memberikan kenyamanan bagi warganya. Kenyataan
saat ini menunjukkan bahwa Taman Firdaus tersebut telah mengalami banyak
kehilangan berbagai sumber daya hayatinya.
Beberapa pihak yang memanfaatkan
lingkungan telah memiliki program atau rangkaian rencana kegiatan yang bersifat
membantu masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Selain itu, ada juga
pemanfaat lain secara historis telah hadir sejak lama dan yang melaksanakan
pemanfaatan sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis. Kaidah ekologis tersebut
tampak pada pelaksanaan yang berpedoman pada, gagasan daya dukung lingkungan,
daya tampung lingkungan, rantai makanan, jaringan makanan, hukum thermodinamika
pertama dan kedua.
Bentuk pemanfaatan lingkungan oleh
manusia ada tiga pola. Pertama, pola
pemanfaatan dengan proteksi yang ketat akan menolak perubahan; kedua¸ pemanfaatan dengan mengadakan
konservasi untuk produksi, ketiga adalah
yang mengeksploitasi semaksimal mungkin. Pola pemanfaatan dengan proteksi yang
ketat adalah dengan mempertimbangkan seluruh komponen ekosistem yang mendukung
proses ekologis, dan yang secara alamiah memberikan hasil secara terus-menerus.
Komponen ekosistem yang mendukung adalah tanaman, herbivore, carnivor¸ dan decomposer dan lahan sebagai gudang
mineral. Pertimbangan atas berbagai komponen yang mendukung proses ekologis
adalah pencerminan dari keadilan ekologis. Keadilan ekologis akan memberikan
kesempatan untuk eksis bagi semua komponen ekosistem. Eksistensi populasi suatu
spesies dijaga melalui kesempatan untuk pemulihan jumlah populasi hewan
tangkapan (ikan, dan kijang) setelah musim berburu. Kesempatan itu diberikan
berbentuk larangan berburu atau menangkap ikan untuk waktu yang lama hingga
mencapai jumlah yang layak. Pemulihan sendiri ada yang berlangsung dalam
beberapa bulan namun ada juga yang berlangsung hingga bertahun-tahun. Salah
satu contoh adalah tradisi sassi ikan
lompa di kepulauan Harruku di Maluku.
Pola pemanfaatan untuk produksi dapat dilihat pada usaha pemerintah melalui PT
Perhutani. Pola pemanfaatan semaksimal mungkin umumnya muncul di daerah
pertambangan baik yang terbuka maupun tertutup seperti minyak. Pertambangan terbuka
dapat mengubah suatu bentang alam.
Beberapa pembicara telah menyampaikan
pemikirannya di dalam KML ke-5 Boedhisantoso menyebutkan mengenai keadaan
lingkungan sebagai Taman Firdaus yang belum diubah dan bahkan belum rusak,
karena adanya proses ekologis yang berjalan dengan baik. Chalid Muhammad
menyampaikan mengenai sejumlah problem yang dihadapi oleh lingkungan di
Indonesia hingga tahun 2007. Emil Salim menyampaikan mengenai peran ilmuwan
antropologi dalam mengahadapi berbagai problem lingkungan di Indonesia. Lebih
jauh lagi ia mengingatkan kembali mengenai kegiatan pembangunan yang
membutuhkan antropologi. Noke Kiroyan menyampaikan mengenai peran perusahaan
swasta dalam memanfaatkan lingkungan tetapi juga berperan sebagai lembaga
filantropi yang mengembangkan masyarakat setempat. Kusnaka menyebutkan kearifan
lingkungan yang tampak pada penduduk sekitar Gunung Salak yang mempergunakan
sumber daya alam dengan protektif. Lebih jauh lagi adalah Ahmad Santosa yang
menyebutkan mengenai posisi Indonesia dalam tolok ukur kesejahteraan dengan
mempergunakan Human Development Index, serta mengusulkan sejumlah strategi
secara kelembagaan untuk menyelesaikan masalah lingkungan.
Potensi Problema Bagi Indonesia
Ada beberapa problem di masa depan. Pertama, adalah keterwakilan warga yang
tidak memuaskan, dan ini berarti gagalnya penerapan demokrasi. Kedua, adalah, atak ada dialog, dan
perwakilan kelompok yang memuaskan, selain itu keterbatasan kelembagaan dalam
komunikasi dan negosiasi gagasan untuk membuat keputusan. Pelaksanaan gagasan
tanpa pengesahan pengadilan dan sosialisasi dapat mengarah pada kekecewaan yang
terpendam. Hal ini dapat mengarah pada terorisme. Ketiga, adalah keterbatasan kelembagaan, dan tak adanya keadilan
sosial. Dibutuhkan lembaga yang dapat menjembatani dan menciptakan dialog tanpa
terikat birokrasi. Selain itu, keadilan sosial merupakan salah satu hal yang
penting dalam integrasi nasioanl dan penguatan negara. Keempat, adalah terbentuknya karakter yang berorientasi individual,
pada keuntungan sepihak dan jangka pendek secara dominan. Ada keengganan untuk
berusaha, atau berkorban atau berjuang untuk waktu yang lama. Kelima, adalah kerusakan lingkungan yang
berarti gagalnya keadilan secara ekologis. Implikasi
dari berbagai problem ini adalah perlunya revitalisasi orientasi komunal,
bangsa, dan negara yang berarti kesediaan berkorban dan berdialog. Serta
perhitungan jangka panjang. Selain itu, suatu tolok ukur yang disepakati dan
dapat diapakai memonitor perkembangan. Tolok ukur tersebut dapat bersifat emic dan juga bersifat etic.
II.
Peran Ilmuwan di Masa Depan
Proyeksi ke depan adalah pendugaan masa
depan berdasarkan kenyataan saat ini dan peletakan harapan untuk masa depan.
Proyeksi sering diapakai dalam istiah demografi seperti proyeksi kependudukan yang
memperkirakan jumlah penduduk dan jumlah satuan keluarganya di masa depan,
berdasarkan data demografis saat ini.
Jika antropologi sangat suka mengkaji
sistem kekerabatan, maka kehidupan keluarga sebagai suatu realitas merupakan
media untuk mempelajari suatu komunitas. Sebuah keluarga dapat terbentuk dari
sebuah kepastian ekonomi. Keluarga saat ini dapat memengaruhi karakter manusia
masa depan. Gejala kehidupan keluarga dapat dipakai untuk identifikasi dan
antisipasi problem. Problem saat ini dan di masa depan, baik yang ditolerir
maupun yang harus dicegah.
Jika peristiwa pernikahan adalah hal yang
menyenagkan, maka peristiwa perceraian adalah hal yang mengecewakan. Pernikahan
dan perceraian sering berdasarkan alasan keadaan ekonomi, tetapi juga mandirinya
para individu. Pernikahan juga ditunjang dari keadaan lingkungan alam,
lingkungan sosial, dan lingkungan binaan. Berdasarkan data BPS tahun 2004
sampai dengan 2006 (Indonesia Dalam Angka
2007) ada perubahan frekuensi pernikahan dan perceraian. Frekuensi
pernikahan secara konsisten tetap meningkat di sembilan provinsi, yaitu Maluku
Utara, Maluku, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta,
Lampung, Sumatera Selatan, dan Jambi. Jika pernikahan dilakukan beradasarkan
kedaan ekonomi yang baik, maka kualitas kehidupan secara umum adalah baik di
sembilan provinsi itu. Peningkatan frekuensi pernikahan dapat dipakai sebagai
“penanda” keadaan ekonomi yang baik. Berdasarkan data yang terbatas di tahun
2004 dan 2005, keadaan ekonomi yang baik meyebabkan provinsi Maluku dan
Kalimantan Timur mengalami penurunan perceraian. Penurunan tingkat perceraian
dapat disebabkan oleh keadaaan ekonomi yang menjadi baik.
Provinsi yang secara konsisten mengalami
penurunan frekuensi pernikahan adalah Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah.
Frekuensi pernikahan yang menurun dapat dianggap sebagai gejala bahwa keadaan
lingkungan terus menjadi buruk. Keadaan lingkungan alam yang buruk dapat
dilihat dari berkurangnya ekosistem hutan di Kalimantan Tengah, demikian pula
adanya kekerasan dan pengangguran dapat juga menyebabkan penurunan tingkat
pernikahan di daerah Sulawesi Tengah.
Harapan di masa depan akan selalu
dinyatakan dengan keadaan yang adil dan sejahtera. Ada dua gagasan yang
menggambarkan keadaan yang diinginkan tersebut. Pertama, mengutamakan pada masalah keadilan sosial. Kedua, mengarah pada kesejahteraan atau
keadaan yang nyaman dari warga yang dapat diukur dengan dua pendekatan.
Pendekatan pertama adalah berdasarkan kualitas kehidupan dari manusia (quality of life) dan kedua adalah indeks
perkembangan manusia (human development
index).
Keadilan Sosial
Keadilan sosial sebagai sebuah phrase telah muncul sejak tahun
1945.Frase ini ada dalam Pancasila sebagai dasar negara. Suatu hal yang menari
adalah di tahun 1974, John Rawls seorang ahli filsafat hukum menyusun gagasan
mengenai prinsip keadilan sosial.
Sederhananya, prinsip pertama keadilan
sosial menyebutkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama. Prinsip kedua
mengingat bahwa di dalam suatu kesamaan akan tetap ada perbedaan. Untuk itu
perluada akses ke lembaga pengambil keputusan, dan kemudian pengutamaan akses
diberikan pada pihak yang paling lemah. Jadi yang paling kuat tidak memonopoli
akses ke pengambilan keputusan. Jika prinsip ini diterapkan, maka harus ada
lembaga bantuan hukum dan juga kepastian hukum hingga pojok-pojok Indonesia.
kepastian tersebut tidak hanya pada pelayanan hukum, tetapi juga pada pelayanan
kemasyarakatan sebagai tugas negara.
Kesejahteraan
Kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity) tampak dari dua
tolok ukur. Tolok ukur pertama adalah yang bersifat emic, yang disebut sebagai Kualitas Kehidupan (Quality of Life), kedua adalah yang cenderung bersifat etic dari Indeks perkembangan manusia (Human Development Index).
Sebagai tolok ukur, Kualitas Kehidupan
adalah tingkat kepuasan dan kenyamanan yang diarasakan oleh individu atau
kelompok. Kualitas kehidupan terdiri dari dua komponen. Komponen pertama adalah
komponen yang bersifat dan kedua adalah yang bersifat psikologis. Aspek
psikologis termasuk di dalamnya stress, kecemasan, dan kenikmatan, dan kepuasan
atas suatu objek fisik. Objek tersebut antara lain adalah rumah, pol makan,
bentang alam, pelayanan kepolisian dan kesehatan. Jadi, semakin tinggi kepuasan
atas pola pangan, rumah, dan juga kebebasan serta kesamaan hak, maka kualitas
kehidupan semakin meningkat. Lester Milbrath seorang ahli politik menyebutkan
mengenai adanya 44 objek (items) Kualitas Lingkungan sebagai Modul yang dapat
dipakai untuk memonitor Kualitas Kehidupan.
Objek tersebut berada dalam lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan
binaan.
Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dengan
Indeks Perkembangan Manusia (Human
Development Index) berusaha untuk mengukur tingkat perkembangan berbagai
negara melalui kombinasi dari angka harapan hidup (life expectancy), melek huruf dan angka (literacy), dan pencapaian pendidikan (educational attainment) dan GDP perorangan. HDI diklaim (claimed) sebagai cara baku guna mengukur
perkembangan manusia menurut organisasi UNDP. Berdasarkan publikasi 2007 dari
data 2005, Indonesia berada pada urutan
ke 107 dalam indeks perkembangan manusia. Keadaan yang berada di bawah
Vietnam (dengan posisi 105) dan jauh dibwah negara lain yatiu Filipina dengan
posisi 90. Jika melihat pada negara tetangga lain maka Malaysia berada di
posisi 63 dan Siangapura berada di posisi 25. Alat ukur ini menilai dari luar
potensi individu (opportunities)
untuk pengembangandiri berdasarkan pendidikan, pelayanan kesehatan, tingkat
pendapatan, pekerjaan, dan harapan hidup, serta melek huruf dan angka.
Kumpulan tolok ukur HDI bersifat
kuantitatif, dan tidak dapat dipakai dalam menggambarkan hubungan antara
manusia dengan lingkungan. Hubungan antarmanusia dan manusia dengan lingkungan
dapat dilukiskan dalam tolok ukurkualitas kehidupan yang mengukur tingkat
kepuasan. HDI belum menggambarkan suatu tingkat kejahatan dan kepastian
penyelesaian hukum. Misalnya dari kasus-kasus criminal berapa persen yang
diselesaikan, berapa besar masalah sosial yang ada (antara lain narkoba,
kekerasan pada anak, perkelahian, kejahatan) di sebuah komunitas.
Karakter Bangsa
Daya juang merupakan suatu ketahanan
fisik dan kejiwaan saat menghadapi tekanan dan hambatan. Di sini perlu juga
mempertimbangkan kecerdikan dan kreativitas perorangan saat beradaptasi dengan
problem yang harus dihadapi. Dalam hal ini kehidupan keluarga yang rukun serta
memiliki perencanaan ke depan terhadap anak-anak penerusnya merupakan hal yang
penting. Lebih jauh lagi adalah kesediaan perorangan untuk selalu belajar dan
memperbaiki dirinya secara terus-menerus.
Profesionalisme akan membangun suatu
kepercayaan. Di aklangan filsafat, social
trust adalah sebuah potensi yang membentuk kekuatan politik. Bagi kalangan
sosiologi, social trust adalah social capital. Dua konsep yang berlainan
ini sebenarnya sama dan berfungsi sebagai modal. Bentuknya tampak pada ritme
yang sama, pola tanggapan yang pasti dalam mengahadapi suatu problem. Seorang
ahli pengelolaan risiko, Roger Kasperson menyebutkan empat persyaratan untuk
membangun social trust bagi seorang
pimpinan. Pertama, adalah kesungguhan
(commitment), kedua, adalah potensi dan kemampuan (competency), ketiga,
adalah kepastian bukti pernyataan (predictability),
dan terakhir, adalah kepedulian (atau
care).
III.
Peran Antropologi Dalam Pembangunan
Dan Pengembangan Bangsa
Arah pembangunan
bangsa, baik dalam rangka pemulihan lingkungan dan keadaan ekonomi yang buruk
membutuhkan adanya data menyeluruh. Arah pembangunan tersusun menjadi suatu
program. Program sebagai serangkaian (gabungan) rencana kegiatan yang tersusun
mennjadi satu (integrated) dengan
masukan data dari realitas yang ada di Indonesia. Antropologi bersama ilmu
laindapat memberi masukan melalui hasil penelitiannya dalam rangka pembangunan
dan pengembangan bangsa Indonesia. Di sini posisi pola penelitiannya pelu
disadari.
Ada beberapa pola penelitian yang telah
dilakukan berbagai ilmuwan lain. Pola itu tampak pada konsep Basic-sciebtific research, apllied research,
action research, dan interpretative
research. Scientific research
dilakukan sesuai dengan prosedur ilmiah
yang baku dari ilmu sang peneliti. Peneliti di sini berusaha seobjektif mungkin
melaksanakan risetnya, hubungan dengan rekan seilmu atau peer group untuk menjaga dari standar keilmiahannya.
Saat ilmuwan menerima pesanan penelitian
terapan, maka kegiatannya sering disebut sebagai Applied Research. Antropolog E. Chamber menyebutkan bahwa Applied Research dikembangkan untuk
menjawab seorang atau beberapa klien dalam pembuatan keputusan. Contoh penelitian
terapan lain adalah penerapan ilmu biologi pada pengelolaan hutan beserta
populasi hewan yang boleh diburu. L Neumann menyebutkan bahwa penelitian
terapan bertujuan untuk mempermudah kerja praktisi. Kita dapat menyebutkan
Oppenheimer yang ahli teori fisika atom melakukan penelitian fisika terapan
bersama Linus Pauling untuk membuat bom atom sebagai pembunuh massal. Secara
sinis kita dapat menyebutkan bahwa bom
atom, mempermudah para prajurit, untuk membunuh musuhnya sebanyak mungkin.
Action
Research juga merupakan penelitian yang menjawab pertanyaan pemesanan dan
memberikan solusi untuk problemnya, dan juga menunjukkan cara kerja solusi
tersebut. Action research di sini
menyelesaikan problem yang khas dan penyelidikannya bersifat demokratis karena
dilakukan bersama-sama masyarakat setempat. Tampaknya kegiatan dari dosen
arsitektur UGM Romo Mangunwijaya di dalam masalah Kedung Ombo, pengembangan
daerah Gunung Kidul dan pantai Selatan bersama masyarakatnya, kegiatan Lembaga
Pariwisata UGM yang memberdayakan masyarakat Ketingan di Sleman Yogyakarta
dapat diakatakan sebagai action research.
Jurusan Antropologi UI pernah melaksanakan usaha pengembangan pestisida
local bersama petani di Banten dan pengembangan bibit tanaman baru di
Indramayu. Sebuah contoh lain lagi adalah ahli kehutanan Aldo Leopold, saat
menjawab masalah kerusakan lingkungan telah membeli sebidang tanah untuk
ditanami kembali. Adapun Linus Pauling setelah membuat bom atom kemudian
berubah menjadi penentang pembuatan bom atom dengan berdemontrasi. PPSML-UI di
tahun 1980-an pernah berusaha menjawab masalah pertumbuhan enceng gondok di
beberapa perairan di Indonesia dengan mengembangkan pemanfaatan gulma itu. Action Research selain menandai dan
mengembangkan potensi objek penelitian (flora-fauna dan juga masyarakat), juga
menciptakan kerja sama baru antara pakar dari keilmuan yang lain. Beberapa ahli
mengakui bahwa mereka hanya memfasilitasi berbagai pihak dalam menyelesaikan
masalah, contohnya lembaga pariwisata UGM menjembatani masyarakat dengan para
ilmuwan di LSM yang relevan.
Leslie White dalam The Science og Culture (1949) menyebutkan bahwa “science is not a body of data,…it is a
technique of interpretation”. Ia melanjutkan bahwa tujuan sains (science) bersama-sama dengan kesenian (art) adalah membedah (to rend) pengalaman secara jelas, dan
membantu manusia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan agar bisa tetap hidup.
Kedua hal itu (sains dan kesenian) menggenggam realitas yang sama dari sisi
yang bersebrangan (opposite side).
Conntohnya interpretasi yang dilakukan oleh Rachel Carson atas sejumlah dokumen
mengenai akibat pencemaran pada berbagai hewa, yang menghasilkan buku berjudul Silent Spring (1962). Ia diakui sebagai
penulis ilmiah yang puitis dalam buku-bukukelautan sebelumnya. Clifford Geertz
melalui interpretasi atas berbagai dokumen Hindia Belanda dan menghasilkan buku
Agriculture Involution (1963). Pola
kerja Clifford Geertz dan Rachel Carson disebut sebagai penelitian
interpretative (interpretative research).
Kekhasan dari tulisan Carson adalah, data yang dipakai berwujud angka, namun
interpretasi dan penulisannya dilakukan dengan bahasa yang memberi kenikmatan,
dan menggugah kesadaran. Silent Spring
sebagai sebuah buku, menyentak karena dilengkapi data. Buku tersebut menggugah
kesadaran akan pencemaran lingkungan, hingga suatu problem “mulai dirasakan”
dan tidak hanya “sekadar diketahui”. Ungkapan “sekadar mengetahui,”
mencerminkan keadaan “bebas nilai” atau tidak ingin ikut campur. Pola
penelitian interpretative dapat
dipakai untuk evaluasi, dan cenderung berpihak ke objek penelitian.
Melihat pada posisi penelitian di atas,
saat peneliti masih asyik menginterpretasikan data dan mempergunakan prosedur
ilmiah yang sangat ketat, maka sebenarnya ia berada dalam sikap pasif, dengan
kata lainia masih berada dalam menara gadingnya. Namun, saat ia menerima
pesanan dan bertindak melaksanakan solusi maka ia sudah aktif keluar dari peer group, atau keluar dari menara
gading. Suatu intervensi adalah suatu ke-aktif-an pada suatu action research, jika peneliti itu juga
memberikan latihan pada objek penelitiannya. Posisi Rachel Carson, Aldo
Leopold, Clifford Geertz, Robert Oppenheimer dapat dilihat pada bagian ini. ada
beberapa ilmuwan yang dalam perkembangannya mengalami perubahan posisi. Aldo Leopold
yang berwal dari Applied Research kemudian
bergerak ke Action Research,
Oppenheimer dari basic scientific
research bergerak ke applied research.
Adapun Rachel Carson dan Clifford Geertz yang berawal dari Basic-scientific Research bergerak ke Interpretative Research. Posisi kegiatan penelitian di atas tampak
pada bagan di bawah ini.
Kepentingan Luar
|
Pola kegiatan
penelitian dan potensi intervensi
|
Kepentingan
(motivasi) peneliti dan profesinya
|
|
Aktif
|
Pasif
|
||
Kepentingan objek penelitian
|
Action Research (Aldo
Leopold, Linus Pauling, Mangunwijaya)
|
Interpretative Research (Rachel Carson, Clifford Geertz)
|
Minat pribadi, dan keberpihakan
|
Kepentingan pemesanan penelitian
|
Applied Research (Aldo
Leopold, R. Oppenheimer, Linus Pauling)
|
Basic-Scientific Research (Rachel Carson, Clifford Geertz, Robert Oppenheimer)
|
Persyaratan dan misi ilmiah, ada jarak terhadap objek
penelitian
|
IV.
Ilmuwan di Dalam Pembangunan
Pembangunan dan pengembangan sering
disamakan dengan Development.
Pengembangan adalah kelanjutan dari yang sudah ada, sedangkan pembangunan
berasal dari ketidakhadiran, yang bertujuan untuk mencapai keadaan seperti yang
diinginkan. Lucy Mair (1984) menyebutkan bahwa development mengacu pada proses atau gerakan bersama (movement) ke arah keadaan yang
seharusnya sudah dicapai seperti bangsa lain. Ungkapannya adalah: “Saya
seharusnya sudah berkembang seperti yang lain (dia) saat ini”. “Seperti dia”,
berarti ada hal untuk dibandingkan.
Pembangunan sebagai suatu gagasan sudah
diapakai sejak masa penjajahan. Alasan dari penjajahan adalah memperkenalkan
dan membangun peradaban pada para manusia di bagian lain dari dunia, selain
membentuk koloni dan penguasaan sumber daya. Suatu hal yang menarik, di awal
1900-an muncul gagasan untuk membangun daerah jajahan orang-orang Eropa dengan
berbagai alasan. Di Hindia Belanda dilakukan dengan alasan politik Etis,
sedangkan di Inggris berlangsung setelah 1930-an dengan mewajibkan koloninya
mengajukan proposal pembangunan dan pengembangan wilayah.
Beberapa pembangunan yang dilakukan pasca
Perang Dunia II sudah melibatkan serbagai Antropolog. Ada beberapa tahapan yang
secara umum berlangsung di setiap kegiatan pembangunan. Pertama, tahap pra-konstruksi (pre-construction
stage). Kedua, tahap konstruksi (construction stage). Ketiga, tahap operasi (stage of operation). Di daerah
pertambangan selain ketiga tahap tersebutakan ada tahap pascaoperasi (post-operational stage).
Pembangunan bendungan Kariba di sungai
Zambesi di Zimbabwe telah memindahkan beberapa kelompok etnis yang menetap di
tepi sungai Zambesi (Lucy Mair, 1984). Pemindahan tersebut pernah disebut
sebagai peristiwa perahu Nabi Nuh yang kedua. Thayer Scudder seorang antropolog
dengan timnya menyiapkan masyarakat Gwembe-Tonga yang menetap di tepi Zambesi
dan dipindahkan untuk beradaptasi di tempat yang baru, yaitu dataran tinggi
Lusitu. Kegiatan yang dilakukan Scuder terfokus untuk menyiapkan penduduk di
tahap konstrksi dan operasi dari bendungan Kariba, sehingga saat pemindahan
pemukiman (resettlement) sudah ada
kesiapan di lokasi baru, baik pada fasilitas umum dan sosial dan juga penunjang
kehidupan orang-orang Gwembe dan Tonga. Tahap oprasi adalah saat bendungan
Kariba memproduksi listrik yang berarti semua penduduk sudah pindah dan
pemukiman aslinya sudah terendam. Saat Scuder melakukan evauasi di pemukiman
baru ia menemukan bahwa, ada kampung yang merana tetapi ada juga pemukiman yang
senag dan puas. Proses yang dilakukan Scudder tampaknya cukup panjang karena
studinya dilakukan sejak tahap prakonstruksi. Ia melakukan serangkaian pola
penelitian seperti Interpretative
Research dan Basic Research
(etnography) serta Applied Research,
dan Action Research.
Sebenarnya seorang ilmuwan sosial dapat
berperan di berbagai tahap pembangunan. Peran itu dapat dilakukan di tahap
prakonstruksi, hingga tahap operasi dari suatu kegiatan pembangunan. Di daerah
pertambangan saat bahan galian akan habis, ilmuwan sosial tersebut menyiapkan
masyarakatnya memasuki tahap pascaoperasi, melalui Community Development.
Peran lain lagi bagi ilmuwan dalam
pembangunan adalah turut membuat rencana kebijakan negara baik pada manusianya
maupun pada pembangunan fisik. Contohnya, sosiolog Herbert Gans pernah membahas
perencanaan kemasyarakatan (social
planning), antropolog Clyde Kluckhohn dan Margaret Mead pernah ikut di
symposium perencanaan kebijakan bagi masa depan Amerika di tahun 1950-an (John
Friedman, 1987)
Tanggung jawab keilmuwan dari ilmuwan
sosial dapat diawali dari hubungannya dengan sesame rekan profesi, tanggung
jawab terhadap pemesan penelitian, dan tanggung jawab pada objek penelitian,
yaitu informan dan responden. Lebih jauh lagi, sang ilmuwan perlu sadar akan
pola pemikirannya (school of thought)
serta peta keyakinan lain yang dihadapi saat menjalankan berbagai peran di
atas, sekaligus tetap menyampaikan kebenaran. Kesadaran ini membuahkan suatu
pemikiran kritis yang memberikan suatu kebebasan dan kesetaraan yang berguna
menandai titik temu saat membangun dialog dengan ideologi yang lain.
BAB I
IDEOLOGI DAN KEBUDAYAAN
Pendahuluan Ideologi dan Kebudayaan
Ideologi adalah gagasan dalam kebudayaan yang secara dengan sadar
diciptakan dan disusun sebagai pedoman untuk warga suatu negara. Ideologi
demokrasi merupakan suatu keyakinan atau pedoman suatu negara yang akhirnya
terwujud dalam kebudayaan suatu negara itu sendiri. Dimana setiap warga negara
berhak menentukan kebijakan (dengan dibentuk pemerintahan /organisasi). Pada
Bab ini penulis berusaha mengungkapkan hasil panel diskusi dari Jakob Oetama
mengenai ideologi demokrasi di Indonesia, ia menyampaikan mengenai fenomena sejarah di muka bumi berupa globalisasi
yang didukung oleh teknologi informasi, sehingga pada pembahasan ini
lingkup pembahasannya itu sendiri tidak akan jauh dari tema tersebut.
Kita bisa saja melakukan demokrasi di negara ini karena tuntutan
globalisasi yang didukung dengan Teknologi Informasi yang semakin maju, namun
hal tersebut harus diimbangi dengan Kebudayaan yang bersifat progresif artinya
suatu kebudayaan itu tidak statis dan diam ditempat. Pernyataan Sosiolog
Guatemala yaitu Bernard Arevallo: “We
have the hardware of democracy but [also] the software of Authoritarianism”.
Maksudanya kita bisa saja mempunyai Hardware
yang dalam bentuk undang-undang dan aturan tertulis, namun akan mengalami
penyimpangan dalam pelaksanaannya, jika pelakunya memiliki authoritarian software of mind. Ini mengambarkan pola yang terjadi
di negara kita, kita bisa saja mempunyai suatu undang-undang yang “seharusnya” dipatuhi. Tapi apa? Pelaksana
atau pelakunya itu sendiri dinegara kita terlau banyak yang lebih mementingkan
kepentingan individu/ otoritasnya sendiri yang telah tertanam dalam pikirannya.
Pada Sub Kedua di Bab I ini, Ahmad Fedyani membahas mengenai otonomi dan
pendidikan dan beberapa kritik mengenai hal tersebut. Ia menganggap bahwa
hadirnya suatu otonomi telah diluar ekpetasi untuk menciptakan keadaan yang
demokratis. Dilihat dalam UU No. 22 tahun 1999 mengenai otonomi daerah.
Menurutnya banyak istilah yang kabur dalam UU tersebut tidak membahas mengenai
kebudayaan, dan lebih berorientasi bentuk pendidikannya itu sendiri untuk mementingkan hasil daripada proses. Dan
hilangnya dinamika yang menghubungkan guru, murid, sekolah dengan komunitas setempat.
Padahal seperti yang kita tahu kebutuhan masyarakat akan generasi penerus
bangsa merupakan hal yang esensial dalam pendidikan itu sendiri.
Dan Pada Sub III Laksono mencoba mengajukan sejumlah langkah yang
bertujuan mempertahankan kehidupan yang demokratis. Yaitu berupa, penangkalan
atas unsur-unsur antidemokrasi, memperbesar peluang untuk demokrasi serta
memberdayakan masyarakat menuju pola yang demokratis.
1.1
Demokrasi
dan Kebudayaan
Intelektual
Sejati
Prof.
Dr. Koentjaraningrat adalah seorang cendekiawan Indonesia. Ia adalah seorang
bapak Antropologi yang dimiliki Indonesia. Seorang guru besar Antropologi dan
sebagai guru besar masyarakat bangsa Indonesia yang pantas untuk dijadikan
panutan. Mungkin sosok yang sebanding dengan almarhum adalah almarhum Prof. Dr.
Selo Soemardjan dan Prof. Dr Sartono
Kartodirdjo, dimana yang satu adalah seorang sosiolog terkemuka dan seorang
ilmuwan sejarah.
Dampak Globalisasi
Sekilas
mengenai sosok dari ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang patut dijadikan panutan.
Sekarang kita bahas mengenai tema panel diskusi yang dibahas oleh Jakob Oetama
mengenai demokrasi dan kebudayaan.
Seperti
yang telah dijelaskan pada pendahuluan bab ini adalah Globalisasi yang ditambah
dengan kemajuan Teknologi Informasi yang semakin maju, berimbas pada kebudayaan
yang harus progresif pula, tidak hanya diam ditempat. Meskipun dalam hal ini
tidak dapat dipungkiri globalisasi menaruh dampak positif didalamnya, semua
orang dipenjuru dunia melalui berbagai perangkat Teknologi Informasi yang
semakin canggih dapat berhubungan dan berkerjasama satu sama lain. Namun kita
tidak bisa menutup mata bahwasanya dampak negatif dari globalisasi itu sendiri
nampak di depan mata, tanpa kita sadari atau tidak globalisai mengakibatkan
kesenjangan kehidupan warga dunia yang bertambah dan kontras.
Oleh
karena itu dalam menahan era globalisasi, kebudayaan sebagai tonggak pertahanan.
Sehingga kebudayaan menjadi satu hal yang sangat sentral sifatnya. Kebudayaan
itu tidak asal ada saja. Perlu adanya suatu upaya untuk pembangunan kebudayaan
itu sendiri. Dimana dalam hal pembangunan kebudayaan itu sendiri sangat
berkaitan dengan upaya memperbaiki kemampuan. Kemampuan untuk apa? Yaitu
kemampuan untuk bangkit dari kondisi serba krisis dan kritis.
Apabila
menela’ah dari apa yang saya baca, ada kalimat mengenai “Culture Matters” yang saya pahami bahwa kebudayaan itu terdiri dari
berbagai macam materi atau komponen pendukung didalamnya. Dimana kebudayaan
berperan untuk kemajuan beragam bidang kehidupan seperti, ekonomi, sosial,
politik, hak asasi dan kemanusiaan.
Prestasi Sebagai Orientasi Kultural
Kemajuan suatu bangsa dapat terukur dari prestasi yang pernah diraih oleh
negara itu sendiri. Sedangkan suatu prestasi dapat terlihat dari kemajuan
ekonomi itu sendiri. Dan kemajuan ekonomi suatu negara yang menjadi tolok ukur
adalah Orientasi Kultural/ Kepahaman kebudayaan dari bangsa itu sendiri. Agar
lebih mudah untuk memahaminya saya gambarkan pada alur di bawah ini:
|
|
||||||||||
|
|||||||||||
|
|
Apabila orientasi kultural disini yang menonjol misalnya korupsi, perlu adanya
upaya yang membuat hal tersebut agar tidak terjadi. Artinya penanaman
pendidikan disekolah merupakan jawaban dari hal tersebut. Apabila suatu
pendidikan ditemapatkan pada posisi dan peranan yang sebenarnya maka hal
tersebut dipastikan tidak akan terjadi. Oleh karena itu pada dewasa ini,
digalakkan pendidikan karakter di sekolah-sekolah sebagai kompetensi yang harus
dimiliki oleh peserta didik setelah proses pembelajaran dilakukan.
Kedudukan Indonesia pada tangga korupsi ke-80 dari 85 negara. Karena
masih berlakunya kultur feudal untuk kekuasaan, berlakunya afamilisme yang
jelek serta masih berlanjutnya praktik kolusi.
Kembali lagi pada “culture matters”
perbaikan kemampuan. Dan mengembangkan suatu kebudayaan yang sikap, nilai dan
praksisnya membangun kemajuan manusia.
1.2
Kebijakan
Otonomi Daerah: Otonomi Pendidikan dalam Perspektif Sosial Budaya
Pendahuluan
Pada Sub Bab kedua di Bab I ini, penulis mengambil dari pembahasan Achmad
Fedyani Saifuddin yang membahas mengenai otonomi pendidikan dalam perspektif
sosial budaya. Dalam hal ini suatu otonomi adalah suatu kewenangan sehingga
apabila diartikan maksudnya adalah suatu kewenangan pada pendidikan yang
tentunya dilihat dari perspektif Sosial Budaya.
Telah dibahas pada pendahuluan sebelumnya bahwasanya pada UU No. 22/1999
tentang otonomi pendidikan. Banyak hal-hal yang dikritik di dalamnya berkenaan
dengan anggaran dan wujud fisik yang dianggap belum sesuai dan belum adil.
Ketika kita bicara otonomi daerah, maka hakikat dasarnya itu sendiri adalah berotonom,
berotonom artinya mengembangkan budaya demokrasi. Dimana otonomi sebagai
kebudayaan.
Perspektif Sosial Budaya dalam memandang otonomisasi daerah ini sebagai
proses pengembangan budaya demokrasi. Namun banyak hal yang harus
dipertimbangkan sebelumnya yang akan dijelaskan di bawah ini.
Pertimbangan Sosial-Budaya Dalam Otonomi
Daerah
Beberapa Catatan Mengenai Pasal-pasal
Undang-undang No.22/1999 mengenai otonomi daerah yang akan dibahas
disini. Dimana perwujudan dari undang-undang ini seharusnya dapat dirasakan
oleh kita sebagai masyarakat untuk mecapai budaya demokrasi. Pasal 14 dalam Bab
V mengenai “Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah”
‘Di daerah dibentuk (italic,
oleh penyusun usulan ini) DPRD sebagai Badan Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan
Eksekutif Daerah.
Kata dibentuk itu yang perlu dikritisi, bahwasanya pada bagian awal UU
pada paragraf ‘Mengingat’ menyinggung UU No. 4 Tahun 1999 dalam pasal 18
menetapkan bahwa 90% anggota DPRD berasal dari anggota partai politik hasil
Pemili, dan 10% dari anggota ABRI yang diangkat. UU No. 4/1999 menganggap bahwa
DPRD sebagai lembaga sudah ‘terbentuk’.
Jadi yang ingin dimaksud penulis disini ialah, bagaimana kita menyadari
bahwa sebenarnya otonomi daerah itu sendiri ‘dibentuk’ atau ‘terbentuk’?
sehingga akan tampak jelas bedanya antar dibentuk dan dipilih.
Menunjuk pada masalah pokok dalam meinterpretasikan UU No.22/1999 diatas,
maka sebenarnya bisa kita sadari kalau kekuasaan yang dimiliki DPRD dan
Pemerintah Daerah sekarang dalam posisi yang seperti apa? Karena dari apa yang
saya baca pada bahasan ini, penulis ingin kita menyadari bahwasanya pasal
tersebut memberikan keraguan tentang kekuasaan apa yang sesungguhnya diberikan
kepada DPRD, DPRD membutuhkan Kepala Daerah dalam pengambilan keputusan dan
Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, ini menjadi bertentang ketika kita
berbicara demokrasi dan otonomi daerah. Jadi keadaan ini sebenarnya tidak
relevan dengan Pasal 16 yang menyebutkan bahwa kedudukan mereka adalah
sama/sejajar dan merupakan kemitraan.
Contoh isu diatas merupakan contoh yang disajikan oleh penulis bahwa ada
suatu yang harus kita kritisi dalam pembentukan otonomi daerah itu sendiri.
Jangan hanya saja kita berbicara bahwa kita berotonom namun pada pelaksanaannya
tidak ada perwujudan menuju arah otonom itu sendiri.
Sebenarnya ada tiga pokok bahasan sebagai lanjutan dari pembahasan di
atas yaitu mengenai Dimensi Kebudayaan yang Terabaikan, Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, dan Kebudayaan Sebagai Transmisi Pengetahuan.
Namun disini saya tidak memaparkan satu-satu seperti sebelumnya diatas
saya akan langsung memaparkan ketiga tema tersebut dari apa saya pahami dari
bahasan tersebut.
Pada dewasa ini, dimensi kebudayaan memang telah terabaikan. Mengapa?
Karena aspek kebudayaan yang merupakan inti demokrasi apabila jika kita kaitkan
dengan pembahasan sebelumnya tidak ada dalam pasal tersebut di atas/terabaikan
tadi. Karena apa?karena mungkin para perancang dan pendiskisi UU dangkalnya
pengetahuan mereka dan wawasannya. Dan mungkin juga ada persoalan kemampuan
berbahasa yang kurang antara ‘dibentuk’ (bukan ‘dipilih’). Kebudayaan masih
terabaikan juga karena dalam UU tersebut aspek seremonial pengangkatan pejabat
daerah lebih ditonjolkan. Terbukti dengan dimuatnya secara rinci dan lengkap
isi sumpah/janji yang harus diucapkan oleh Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah
dan Lurah. Namun hal yang memang substansial malah diabaikan. Padahal yang
seperti kita lihat dari sekian banyak pejabat yang sudah berikrar janji/
melakukan sumpah, namun tetap saja melakukan hal-hal yang melanggar aturan.
Begitu pula pada Pendidikan dalam Otonomi Daerah. Dalam hal ini penulis
bermaksud menjelaskan cara pandang dalam cara pandang sosial budaya mengenai
pendidikan dalam otonomi daerah itu sendiri. Perspektif Sosial Budaya memandang
pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan secara sistematik, tidak dapat dipahami secara terpisah dari transmisi total sosialisasi/ enkulturasi (Hansen,
1979; Singleton, 1973). Artinya apabila ditela’ah menurut saya penggambaran ini
memandang sebagai sebuah sistem yang dipandang secara komprehensif.
Dua Perspektif
Secara sistemik yang dimaksud di atas ialah bahwa pendidikan dilihat
perpektif sistemik ini dibagi menjadi dua tahap perkembangan, yaitu perspektif
structural fungsionalisme, dan prosesual. Apabila disajikan dalam bagan,
pembahasan ini menjadi seperti di bawah ini;
|
|
|
|
|
|
|
Yang dimaksud bagan diatas adalah bahwa sistem pendidikan di atas adalah
yang dimaksud berpikir structural-fungsional.
|
Pendidikan merupakan sebagai komponen
dari sistem yang besar sehingga pendidikan hanya bagian kecil yang ada dari
komponen-komponen lainnya
Sedangkan Perpektif Prosesual
menekankan perspektif sebagai sitem. Namun lebih menekankan bahwa sebagai
sentral, manusia sebagai objek yang menjadikan lingkungan sebagai tempat
bertindak.
Jadi perbedaan dan perubahan yang
dimaksud adalah dalam perspektif Struktur Fungsionalisme, manusia sebagai objek
dimana ia beradaptasi untuk masuk ke dalam sistem. Berbeda halnya dalam
perspektif Prosesual yang menginginkan manusia berinteraksi dengan
lingkungannya agar dapat merubah sistem tersebut menjadi lebih baik.
Sistem pendidikan kita yang seragam
dan berorientasi ke bawah maksudnya disini ialah institusi pendidikan yang ada
dilaksanakan oleh pemerinatah, segala perncanaan program pendidikan sampai
kompetensi lulusan ditentukan menurut kebijakan pemerintah. Pada seharusnya kebutuhan
riil yang meman dibutuhkan dalam masyarakat yang seharusnya menjadi tolok ukur
tipe lulusan yang seharusnya dihasilkan dalam suatu satuan pendidikan. Artinya
selama ini masyarakat dianggap bukan
merupakan atau mempunyai hal yang esensial dalam satu sistem yang berkaitan
dengan sekolah.
Kesimpulannya pada bab ini dengan
sub bab ke 2 di Bab 1 ini, penulis ingin menyampaikan bahwasanya, dengan adanya
kebijakan otonomi daerah maka seahrusnya tidak ada jurang pemisah antara
masyarakat dengan sekolah. Dimana sekolah dan masyarakat ditempatkan dalam satu
wadah yang tak terpisahkan satu sama lain. Sekolah sebagai mitra dengan
masyarakat. Dimana nantinya apabila pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan mayarakat, maka akan berimbas apada komptensi lulusan yang
dihasilkan dan nantinya dibutuhkan dalam masyarakat untuk menjawab tantangan
kebutuhan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran lokal maupun regional. Dan
perubahan pola pikir juga sangat mempengaruhi pada pola pendidikan di Indonesia
ini, memang tidak mudah dilakukan namun setidaknya gagasan menuju perubahan
paradigma pendidikan tersebut dibicarakan.
1.3
Rujukan
Lembaga-lembaga Demokrasi Dalam Ranah Komunitas Lokal
Pendahuluan
Sub Bab yang ketiga ini
mengenai bagaimana peranan lembaga-lembaga
komunitas lokal dalam menjalankan demokrasi itu sendiri. Karena dalam buku ini
kita banyak memandang dari sudut antropologi atau mementingkan kebudayaannya
itu sendiri. Sehingga antropologi itu sendiri member sudut pandang berobsesi
untuk memahami lian, yaitu memahami
orang yang berbeda dari dirinya sendiri untuk mengenali dirinya secara lebih
tajam. Lalu sekarang bagaimana kita memahami dari lembaga-lembaga demokrasi
yang ada dari sudut pandang antropologi?
Kondisionalitas Lembaga-Lembaga Demokrasi
Dewasa ini di negara ini khususnya
segala urusan yang ada mengatasnamakan demokrasi, demokrasi siartikan sebagai
setiap orang mempunyai kesempatan atau persamaan kondisi. Demokrasi tumbuh dari
masyarakat Eropa yang ingin melepaskan diri dari pemerintahan eropa itu sendiri
yang aristokrasi. Sehingga terjadilah demokrasi yang terbentuk dan ada di
Amerika seperti sekarang. Lemabaga-lembaga demokrasi yang ada sekarang
kebanyakan menyalahgunakan demokrasi yang ada, oleh karena itu untuk mewujudkan
lembaga-lembaga demokrasi yang baik, dan untuk melindungi demokrasi itu
sendiri, maka hukum harus diatas segala-salanya dalam urusan tata negara..
Idealnya, negara demokratis seharusnya memiliki hakim dan sistem pengadilan
yang independen dan sekaligus politikus yang baik.
Ranah Komunitas Lokal
Apabila
kita memandang dari perspektif budaya, Indonesia merupakan negara yang kaya
akan kebudayaannya itu sendiri, tidak dapat dipungkiri Indonesia mempunyai
beragam suku, bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun tidak
dapat dipungkiri juga bahwa di Indonesia itu sendiri masih ada saja masyarakat
yang pada kenyataannya masih mempertahankan tradisi kesukuan yang masih
mengembara di hutan-hutan. Berbeda halnya ketika mencontohkan dengan kehidupan
kota yang serba modern. Ini artinya terjadi disintegrasi sosial di dalamnya.
Dimana yang terjadi adalah para elitenya “mengeksploitasi” apa yang ada agar
menjadi miliknya dan mencapai tujuan yang diinginkannya.
Mediasi
Untuk
menyamaratakan demokrasi dengan berbagai macam komunitas lokal yang ada, maka
perlu adanya suatu mediasi. Sehingga dalam hal ini diperlukan lembaga-lembaga
mediasi agar prinsip-prinsip demokrasi dapat dikomunikasikan secara transparan
dan dipraktikkan secara bertanggung jawab. Dengan demikian seharusnya disini
agar masyarakat merasaa bahwa negara ini demokrasi maka sistem ekonomi harus
terbuka, tidak ada penggelembungan harga serta korupsi yang semakin meningkat.
Rakyat harus berperan serta sebagai pelaku ekonomi dan ikut menemukan sistem
ekonomi yang jujur.
Langkah-langkah agar demokrasi tidak macet
1. Hambatan:
§ Korupsi
terus berlanjut sampai akhirnya, yang menjadi penghambat dari demokrasi itu
sendiri.
§ Partai
politik dan wakil-wakil rakyat yang gagal menjadi mediator yang baik untuk
“rakyatnya” yang “memilih”.
§ Proses
Desentralisasi atau pemusatan yang disalahgunakan oleh orang yang lebih
berkuasa.
§ Lembaga
hukum dan pengadilan yang menjalankan pemaksaan hukum
2. Peluang
§ Desentralisasi
harus menjadi alat demokrasi yang baik, untuk masyarakat bersana daerahnya agar
meningkatkan demokrasi itu sendiri.
§ Demokrasi
disadari dan mengakar pada masyarakat dan kebudayaan masyarakat
3. Tindakan
yang diperkuat
§ Pendekatan
antropologi budaya dalam masyarakat yang mengajarkan agar masyarakat tidak
mengenal jalan pintas dan sadar akan pemikiran yang holistic/menyeluruh
§ Fasilitasi
rakyat membangun identitasnya secara demokrastis
BAB II
TERORISME DAN KEBUDAYAAN
2.1
Terorisme
dan Kebijakan Penanganannya
Pada Bab II ini, penulis membahas mengenai seluk beluk dari terorisme,
apa yang kita ketahui mengenai terorisme? Yang kita tahu kalau seorang Amrozi
atau Azhari adalah teroris. Itu berarti terorisme itu sendiri merupakan kumpulan
atau serangkaian tindakan kekerasan yang dipergunakan orang-orang untuk
membangun suatu pola hidup di lingkungannya. Yang kebanyakan dari teroris ini
mengatasnamakan agama dalam melakukan tindakannya.
Karakteristik Psikologi Teroris
Ketika seorang teroris menganggap bahwa cara damai tidak bisa ditempuh
untuk melakukan perubahan yang mereka inginkan maka mereka akan menempuhnya
dengan kekerasan untuk tujuannnya dapat tercapai.
Kebijakan Interasional
Untuk pemberantasan dari terorisme itu sendiri dalam kebijakan
internasional disepakati bahwa negara satu dengan negara lainnya bekerja sama
untuk perang melawan terorisme itu sendiri.
Kebijakan di Indonesia
Di Indonesia para pelaku teroris mendapatkan hukuman yang memang ada
dalam aturan UU. Dan untuk upaya pencegahannya itu sendiri mengungkap
jaringan-jaringan teroris, mencegah masuknya bahan-bahan peledak serta senjata,
dan menutup akses penjualan barang-barang tersebut.
2.2
Dimensi
Internasional Terorisme
Pandangan Hitam Putih AS
Semenjak terjadi pemboman tanggal 11 September AS pada gedung kembar WTC
New York merubah pemikiran mereka dan merealisasikan doktrin “preemptive strike” jadi apapun yang
menjadi ancaman bagi AS dan mengganggu keamanan negara mereka, maka mereka akan
menghancurkan terlebih dahulu “either
you’re with us or with the terrorist” dari pernyataan Bush. Oleh karena itu
pemikiran mereka bahwa siapapun yang tidak mendukung “anti demokrasi”
menyiratkan bahwa mereka adalah musuh
AS.
Ambiguitas Definisi Terorisme
Sebenarnya belum ada kesepakatan mengenai arti terorisme yang sebenarnya.
Banyak istilah seperti “fundamentalisme”, “radikalisme”, dan “militanisme” yang
umumnya dipopulerkan oleh para pakar dan media massa tanpa berusaha mencari
makna sebenarnya dari istilah-istilah tersebut. Namun apabila terorisme
dikatakan sebagai aksi kekerasan untuk mencapai suatu tujuan yang seperti saya
sebutkan diatas, maka apa bedanya teroris dengan para aksi militer. Sehingga
sampai saat ini belum ada rumusan yang jelas dan objektif tentang istilah
“terorisme”. PBB pun belum berhasil membuat definisi tentang terorisme.
Dampak 9/11
Kejadian tersebut tidak hanya membuat AS merubah pola pemikirannya. Namun
memunculkan dua fenomena yang lainnya. Pertama, meningkatkan ketegangan antara
AS dengan dunia islam yang dianggap sebagai teroris. Mereka tidak memedulikan
prinsip-prisip HAM dan demokrasi yang selama ini mereka junjung tinggi, serta
keadilan, hukum internasional, dan etika pergaulan antar bangsa. Bukan
merupakan hal yang tidak mungkin apabila nantinya Indonesia menjadi sasaran
terorisme apabila AS menganggap Indonesia tidak serius menjalankan “perang
melawan anti terorisme” yang jika diartikan harus dibaca sebagai “perang
melawan kaum muslim fundamentalis”. Dan untuk mengharapkan bantuan PBB menjadi
suatu yang sia-sia. Karena dilihat dari perang sekarang antara AS melawan Irak
atau Afghanistan. PBB tidak mampu mencegah apa yang dilakukan AS. Negara
Adikuasa atau superpower bisa saja dikuasai oleh mereka namun kejayaan hegemoni
tidak akan abadi. Negara yang memegang hegemoni harus menanggung beban biaya,
militer, politik, ekonomi dari keadidayaannya dalam rangka mempertahankan
hegemoninya. Namun untuk membuktikan teori ini yangb akan mengakibatkan runruhnya
AS maih dipertanyakan. Karena secara de
facto AS masih merupakan negara terkuat di dunia, baik dari segi militer
maupun ekonominya. Hampir tidk ada negara yang tidak tergantung pada AS, atau
terbebas dari pengaruh kebijakannya.
State
Terrorism dan Stigma Fundamentalisme
Apa perbedaan antara kaum fundamentalis dengan teroris?dan mengapa muslim
seringkali diidentikan dengan teroris atau islam dengan teroris? Peristiwa
peledakan bom di Bali disinyalir merupakan bagian dari skenario besar perang
melawan terorisme yang dijalankan Bush. Tidak aneh dalam hitungan jam
pemerintah Australia bisa memastikan bahwa yang melakukan pemboman di Bali
merupakan kelompok Jamaah Islamiyah yang merupakan jaringan Al-Qaeda. Ketika AS
sudah menyebut Al-Qaeda, dan Australia menyebut Jamaah Islamiyah, maka cepat
atau lambat yang lain akan mengikutinya bagaikan koor paduan suara. Jadi, terserah kita apakah kita percaya atau
tidak pada teori konspirasi. SEorang mantan menteri di Jerman berpendapat bahwa
apa yang dilakukan Bush telah diluar dari HAM dan demokrasi yang ada pada AS,
begitupun dikatakan mantan Presiden AS Jimmy Carter. Sehingga reputasi AS
sebagai yang terbaik dalam soal HAM dan demokrasi pun terancam pudar.
Umat Islam disudutkan dari berbagai stigma bahwa semua teroris yang ada
sekarang berasal dari umat Islam. Padahal banyak teroris seperti Aum Shinrikyo
di Jepang, kelompok Basque di Spanyol, Kahane Chai di Israel, dan kelompok “American Militant Extermists” di AS
sendiri. Seharusnya kita beranggapan saja bahwa terorisme adalah suatu tindakan
kekerasan bermotif politik yang menjadikan warga sipil sebagai korban
utamanya,” oleh sebab itu pada hakikatnya terorisme ada di hampir semua negara,
bangsa, dan (kelompok) agama.
“Clash of Civilizations” Sebagai Pembenaran
Disinformasi yang menyudutkan umat Islam mengenai terorisme, sebagai
senjata untuk melancarkan perang terhadap Dunia Islam dengan dimunculkannyaisu
terorisme yang dapat digunakan sebagai alasan mengobrak-abrik dan
memporak-porandakan negara-negara muslim. Dapat dibuktikan dari pemboman di AS
pada 11 september yang langsung dituduhkan pada jaringan Al-Qaeda dan Osama bin
laden, padahal kebenaran atas tuduhan tersebut masih diragukan bahkan oleh berbagai
kalangan di AS sendiri.
Kebanyakan teror disalah artikan sekarang ini, dimana sebagai tindakan
yang dilakukan si kuat kepada si lemah, namun hal ini menjadi berubah maknanya
ketika terror dikatakan tindak kekerasan yang dilakukan si lemah terhadap si kuat.
Ironisnya, perilku kekerasan yang dilakukan si kuat terhadap si lemah, jauh
lebih biadab, justru tidak disebut sebagai terorisme.
2.3
Perang
di Luar Kedaulatan (Sovereignty), Perdamaian di Luar Perwakilan
(Representation)
Apakah
mungkin bagi Amerika Serikat untuk melakukan perjanjian perdamaian dengan
Al-Qaeda atau Osama bin Laden? Tidak mungkin, demikian menurut pendapat umum.
Tapi mengapa tidak? Apakah ini dikarenakan tidak adanya bahasa yang sama? Tidak
ada rasa perikemanusiaan yang sama? Ketika negara bertindak di luar batas
kedaulatan (sovereignty), maka pihak
di luar negara (bukan-negara) pun bertindak di luar batas perwakilan politik (representation). Pertunjukan para
teroris adalah penanda terbuka yang terletak di luar kontrol demokrasi, representasi
media yang marak, yang membangkitkan pengikut baru yang tak terduga. Manakala
retorika terus digerakkan, bisakah masyarakat menuntut perdamaian-baik di dalam
maupun di luar-batas-batas kedaulatan?[1]
Asimetri yang Intim dan Aneh
Dalam pertikaian antara AS dengan jaringan Al-Qaeda ini terdapat asimetri
yang aneh tapi intim. Keluarga Bush dan bin Laden adalah rekan bisnis selama
dua generasi, dan saling berkunjung ke Saudi dan Texas. Mereka berkolaborasi
melawan Soviet di Afghanistan. Sekarang mereka bicara satu sama lain dengan
saling melempar bom. Menambah retak yang semakin dalam krisis pembenturan
peradaban.bagaimana retorika seperti ini digerakkan? Dari ranah pribadi masuk
ke dalam ranah peradaban?[2]
Apa yang terjadi?akhirnya pertarungan dipertaruhkan tanpa kedaulatan yang
jelas? Tidak bisakah semua konflik yang ada dibicarakan dengan baik. Karena
jika terus berlanjut akan semakin banyak korban yang berjatuhan. Apakah
mustahil apabila dilakukan perjanjian perdamaian?
Seakan Perang Sabil Baru
Perang Sabil adalah sebuah upaya politik, di mana Paus ingin menciptakan
kedaulatan baru di luar wilayah kekuasaan yang telah ada. Maka dibuatlah
gagasan Christendom, dan gerakan politik lewat ziarah massal ke Tanah
Suci-dengan disertai persenjataan. Penulis mencontohkan dengan Perang Sabil
karena Perang Sabil itu sendiri memberikan contoh bagaimana retorika dapat
digerakkan sedemikian rupa, dengan begitu cepat.
BAB III
PENGUATAN NEGARA, INTEGRASI NASIONAL DAN KEBUDAYAAN
Pendahuluan
Setelah membahas mengenai Ideologi dan Kebudayaan pada Bab I dan
Terorisme dan Kebudayaan pada Bab II. Pada Bab III ini berisi mengenai
Penguatan Negara, Internasional dan Kebudayaan. Apabila kita cermati sebenarnya
penyajian bahan oleh penulis sangat sistematis. Antara satu bab dengan bab yang
lain saling berkaitan dan berhubungan. Apabila kita pada bab I membicarakan
mengenai Ideologi dan kebudayaan dimana yang pada intinya suatu ideologi
demokrasi yang kita terapkan sekarang ini tidak terlaksana dengan baik maka
tentu akan terjadi konflik (pertentangan gagasan) yang akhirnya memunculkan
tindakan terorisme itu sendiri (pada bab II), oleh karena itu perlu adanya
suatu pengutan negara atau keterpaduan nasional secara bersama-sama untuk
membangun negara ini menjadi lebih baik.
Lingkup bahasan mengenai bab ini meliputi penguatan negara yang mengacu
pada penguatan internal negara atau institusional lokal. Sulaiman Mamar disini
menyampaikan konflik di Poso yang terjadi antara kelompok agama dengan latar
belakang masalah politik dalam memperoleh kekuasaan di daerah. Mamar mengatakan
pentingnya mempraktikkan prinsip umum untuk menjembatani pihak yang berkonflik
dengan 5 S atau senyum, salam, sopan santun, dan sabar.
Qodri Azizy mengkritik pelaksanaan pemerintahan yang dapat menjadi suatu
pelaksanaan kekerasan oleh pemerintahan. Ia menyebutkan bahwa Ernest Gellner
memakai definisi Max Weber untuk menyebutkan negara sebagai lembaga modern atau
badan yang memiliki monopoli kekerasan yang dilegitimasi. Gellner juga
menyebutkan bahwa manusia telah melalui tiga tahap kebudayaan dalam sejarah,
yaitu masyarakat pra-agraris (pre-agrarian),
masyarakat agraris (the agrarian),
dan masyarakat industri. Qodri Azizy mengajukan suatu perekat untuk integrasi.
Perekat tampak pada dua hal:
1. Perlu
nilai dan esensi kepentingan serta tujuan bersama. Hal ini dapat ditemukan
dalam Pembukaan UUD 1945, Visi Indonesia dalam Tap MPR, simbol bersama (Garuda
Pancasila dan Merah Putih) sebagai Cultural
branding
2. Selain
itu perlu menerima kenyataan hadirnya pluralism budaya dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, untuk itu perlu menjaga nilai-nilai budaya yang
sensitive (menghormatinya), member manfaat dalam perubahan budaya.
Dan pada Bab ini juga akan sangat berkaitan erat bagaimana Indonesia
dapat menghadapi Globalisasi?
3.1
Penguatan
Negara dan Integrasi Nasional
Kembali ke Pertahanan Rakyat Semesta
Sistem
pertahanan rakyat semesta ada pada pasal 30, yang paling krusial dalam hal ini
adalah manusianya itu sendiri sebagai sumber utama pertahanan militer dan
non-militer. Kapal, tank dan lainnya adalah sumber pertahanan fisik. Non
militer adalah swadaya alam manusia, alam buatan yang dibuat manusia untuk
pertahanan itu sendiri. Tidak hanya bisa mengandalkan kekuatan fisik saja namun
knowledge kita harus dibangun. Apabila dikutip dari buku ada pernyataan “defence of knowledge”. Artinya
pengetahuan kita terhadap sains dan teknologi sekarang yang dijadikan senjata
untuk pertahanan kita sendiri. Dan yang paling penting tentunya yaitu,
penguatan nilai-nilai budaya sebagai pondasi pertahanan yang paling penting.
Keanekaragaman Budaya untuk Modal
Pertahanan
Presiden
Soekarno penah mengatakan bahwa kekuatan Indonesia adalah keragaman budaya.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, didalamnya banyak suku-suku
atau budaya yang menjadi ciri khas daerahnya masing-masing namun tetap
mempersatukan Indonesia. Keindonesiaan tidak mematikan kesukuan. Malah kesukuan
memperkuat kesatuan Indonesia.
Dalam ilmu pertahanan ada teori, di
mana pertahanan dilihat dari sejumlah pesawat, tank, dan sebagainya. Namun,
pertahanan yang bagus adalah keadilan sosial. Jika berbicara mengenai
pembangunan bangsa, maka yang lebih tepat adalah pengembangan pendekatan
multikultur. Pendekatan ini perlu ditanamkan di Indonesia. Dimana ketika
keragaman budaya ini kita manfaatkan sebagai alat pemersatu bangsa maka,
menurut penulis akan kuat negara ini dalam pembangunan pertahanannya.
3.2
Integrasi
Nasional dan Penguatan Negara dalam Perspektif Antropologi, Kasus Papua
Indonesia, de Facto dan de Jure
Deklarasi Sumpah Pemuda merupakan saksi dari perjuangan
Indonesia sebagai penguatan negara dan integrasi nasional. komitmen para pemuda
pemudi dalam ikrarnya “bahasa, bangsa, satu tanah air Indonesia”. Di abad 20,
perkembangan teknologi yang semakin canggih tentu akan membawa perubahan pada
kehidupan di dunia. Maka akan terjadi globalisasi didalamnya, akan terjadi
transformasi budaya dalam aspek kehidupan manusia. Suatu ketahanan /penguatan
negara sangat dibutuhkan demi memfilter arus globalisasi tersebut. Pelestarian
nilai buudaya dalam masyarakat sangat membantu dalam upaya ini. Secara
bersama-sama mengikat tali persaudaraan yang kuat demi terciptanya persatuan.
Integrasi Nasional dan
Penguatan Negara
Integrasi apabila dalam bahasa
politik dikatakan sebagai penyatuan berbagai sistem politik, budaya, sosial ke
dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional. Sedangkan integrasi
sosial adalah pembauran dari kelompok masyarakat dimana mereka menghapuskan
perbedaan dan jati dirinya masing-masing. Dan integrasi kebudayaan itu sendiri
adalah penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan menjadi beberapa unsur-unsur
kebudayaan dengan cara difusi (unsur-unsur kebudayaan baru diserap ke dalam
suatu kebudayaan).
Menurut
Profesor Koentjaraningrat (1982:35) ketika kita megulas untuk bagaimana usaha
untuk mempersatukan penduduk Indonesia yang beraneka ragam budaya menajadi
suatu kesatuan yang utuh, maka ada 4 masalah pokok, yaitu: (1) masalah
mempersatuka aneka warna suku bangsa; (2) masalah hubungan antaragama; (3)
masalah hubungan mayoritas-minoritas; (4) masalah integrasi
kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya dan Timor-Timur dengan kebudayaan di
Indonesia.[3]
Penguatan
Negara dan Integrasi Nasiona disini difokuskan pada institusi nasional, lokal
dimana yang berperan sebagai penanaman nilai-nilai budaya agar kita sendiri
mempunyai pondasi yang kuat saat globalisasi yang terus berjalan.
Integrasi Nasional dan Penguatan Negara:
Kasus di Papua
Dalam hal ini penulis lebih
menekannkan dari aspek antropologi bukan dalam hal asppek politik, dalam
membahas integrasi nasional dan penguatan negara sehinga perpektif yang ada
akan lebih memandang aspek kebudayaan.
Masalah Integrasi Kebudayaan Irian (Papua)
Pada saat awal Papua terlepas dari
Belanda, pada saat itu integrasi kebudayaan masih belum tercapai, sehingga
ditakutkan aka nada jurang pemisah antara masyarakat Papua dengan masyarakat
Indonesia lainnya. Menurut Koentjaraningrat untuk dapat menggambarkan
persoalan-persoalan integrasi kebudayaan di Papua, akan diambil ilustrasi dari
Koentjaraningrat:
“….Mereka mencurigai orang Indonesia lainnya.
Mereka benci akan sikap sok tahu dari orang Indonesia lainnya. Mereka suka
mengejek, sikap sok hebat dari orang Indonesia lainnya…”
Penyataan
diatas mengisyaratkan bahwa orang Papua pada waktu itu belum bisa menerima
pihak luar yang belum dikenalnya. Mungkin karena masih tertanam Propoganda Belanda
yang sudah melekat pada mereka. Namun dijelaskan pada buku ini bahwa semakin
lama masyarakat Papua juga bisa menesuaikan dengan masyarakat Indonesia
lainnya.
Yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah sejauh mana integrasi kebudayaan tersebut terjadi di Papua?
Menurut
Koentjaraningrat dari penelitiannya bahwa integrasi di Papua sudah tercapai,
dalam arti Papua telah menjadi bagian integral dari negara Indonesia, namun
dalam hal integrasi kebudayaan, hal ini belum mencapai pencapaian yang
diinginkan, meskipun dalam hal integrasi politik sudah tercapai, namun dari
integrasi budaya itu sendiri yang lebih penting. Stigma orang luar terhadap
Papua kebanyakan mengatakan bahwa mereka masih dikatakan sebagai orang
primitive dan hidup dalam kebudayaan batu. Namun pernyataan tersebut sebenarnya
keliru apabila telah melihat keadaan masyarakatnya itu sendiri secara langsung.
Ketidaktahuan pihak luar akan kebudayaan yang Papua miliki dewasa ini
mengisyaratkan bahwa adanya integrasi kebudayaan, berarti ketidaktahuan akan
kebudayaan yang sebenarnya ada disekitar kita. Hal ini perlu diperhatikan bahwa
ketika kita kurang menghargai kebudayaan orang lain, maka integrasi kebbudayaan
itu sendiri akan sulit tercapai.
Budaya
Melanesia, kesadaran mengenai streotip di Indonesia dengan cirri-ciri ras
Melanosoid dan Mongoloid menurut Koentjaraningrat kedua tip eras tersebut
sebagai kekayaan dalam kehidupan bangsa, sehingga perlu adanya ruang agar dapat
diterima sebagai keseluruhan kebudayaan nasional, karena dengan begitu akan mengurangi
pemikiran orang Papua terhadap integrasi kebudayaan.
Dalam
bahasan ini, yang membuat saya tersadar dari kata penulis adalah, menurutnya
selama ini yang kita tahu orang Papua kebudayaannya masih seperti 50 tahun
lalu, memakai koteka dan tertinggal (begitupun pemikiran saya). Namun katanya,
pandangan tersebut mungkin benar, karena bagi orang awam seperti saya yang
hanya melihat Papua melalui foto akan beranggapan seperti demikian, namun
apabila orang yang telah menginjak langsung tanah Papua. Bahwa yang terjadi
adalah mereka telah mengalami perubahan maupun dalam hal berbusana, maupun
sistem teknologi.
Ini
menjadi cambukan keras bagi saya bahkan perubahan ppola pikir bahwasanya ketika
kita masih beragumentasi mengenai Papua seperti halnya diatas, maka tanpa
disadari kita telah merendahkan budaya lokal. Sehingga paham saya sekarang
setidaknya setelah membaca bahasan ini, mengubah pandangan saya terhadap
masyarakat Papua itu sendiri.
Kesimpulannya
pada sub-kedua Bab tiga ini mengenai penguatan negara dan integrasi nasional.
Suatu integrasi nasional dan penguatan negara memang sebuah kebijakan nasional,
dimana hanya mungkin terlaksana apabila warga/ masyarakat Indonesia merasa
menguntungkan dengan adanya kebijakan tersebut. Sehingga perlu adanya kesadaran
dimulai dari individu, kelompok, dan satuan masyarakat.
Saya
kutip dari buku ini, bahawa Integrasi nasional dapat hidup dalam masyarakat
apabila semua hak-hak serta kewajiban diperhatikan dengan memegang teguh pada
prinsip demokrasi, demokrasi bukan hanya pada tingkat ideologi saja, atau hanya
berlaku pada tingkat makro, tetapi harus berlaku dalam kehidupan nyata.
Mengenai
Papua, persoalan yang ada seharusnya tidak hanya dilihat dalam aspek politiknya
saja, namun kebudayaannya itu sendiri yang harus diperhatikan. Dan akan lebih
baik apabila integrasi kebudayaan lebih digali dan diangkat ke permukaan agar
menjawab persoalan di tanah Papua.
3.3
Integrasi
Nasional dan Penguatan Negara
Sebenarnya bahasan mengenai hal ini
telah disampaikan sebelumnya di atas dengan lebih jelas, namun untuk tambahan
dan kesimpulannya negara sebagai pelaksana amanah haruslah kuat dalam membela
dan melindungi rakyat, namun tidak melakuakan intervensi demi kepentingan
sekelompok orang atau pribadi dari elite penguasa.
3.4
Suatu
Pendekatan Budaya dan Etika dalam Resolusi Konflik
Pola Pembangunan Sentralistik Rawan Konflik
Integrasi Nasional di Indonesia
mulai tumbuh semenjak penjajahan Indonesia oleh Jepang dan Belanda. Didukung
dengan deklarasi Sumpah Pemuda yang semakin mengikat integrasi Nasional pada
masyarakat Indonesia. Namun sayangnya kepemimpinan Soekarno pada saat itu lebih
mementingkan dari bisang politik sehingga maraknya partai-partai politik dan
menyebabkan presiden Soekarno turun. Dan Soeharto menggantikan dengan keberhasilannya
menciptakan stabilitas keamanan dan integrasi nasional. Namun ketidapuasan
rakyat dengan pemerintahannya yang militerisme, kemacaeta ekonomi yang membuata
Soeharti juga turun. B. J. Habibie sebagai wakil presiden pada saat itu yang
akhirnya menjadi presiden, menciptakan konsep demokrasi reformasi yang akhirnya
dianggap rakyat Indonesia sebagai kebebabasan yang sebebas-bebasnya tanpa
mementingkan nilai agama dan norma-norma yang berlaku yang mengakibatkan
akhirnya Timor-Timur yang memisahkan diri untuk menjadi negara sendiri dengan
nama Timor Leste.
Fenomena Konflik Indonesia
Kebanyakan konflik di Indonesia
sekarang lebih mengarah pada disintegrasi bangsa karena lunturnya pemahaman dan
penerapan sebagian masyarakat Indonesia itu sendiri mengenai nilai-nilai
budaya, etika, norma hukum dan agama. Banyak konflik yang terjadi di Indonesia,
kerusuhan massal yang terjadi di Aceh (adanya Gerakan Aceh Merdeka karena
adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi politik yang akhirnya mereda dengan
deklarasi Helsinki), konflik
Timor-Timur yang akhirnya lepas dari NKRI, konflik Ambon, dan konflik
Kalimantan Barat (konflik antara etnis Dayak dengan Madura)
Fenomena Konflik Poso
Pada sub ini penulis menjelaskan
mengenai konflik Poso yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah. Dimana
konfliknya itu sendiri dibagi menjadi 4 jilid. Berikut uraian saya dari apa
yang saya baca mengenai konflik Poso:
Konflik
Poso Jilid I (1998-1999)
Awal
terjadinya konflik Poso diceritakan bahwa ada seorang pemuda mabuk bernama
Kristen yang yang menyerang seorang pemuda muslim di sebuah masjid kota Poso.
Dan umat Islam yang marah tidak menemukan pemuda tersebut akhirnya took-toko
yang menjual alkohol yang dibutuhkan oleh orang Kristen, mereka bakar.
Pergantian Bupati Poso pada saat itu juga menimbulkan akar terjadinya konflik
melalui berbagai macam rekaya politik oleh pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan jabatan dan kekuasaan di Poso.
Konflik
Poso Jilid II (April 2000)
Merebaknya
isu mengenai kota Poso akan mengalami lagi kerusuhan seperti yang terjadi pada
tahun 1988 yang dihembuskan oleh Damsyik seorang anggota DPRD yang mengancam
jika ia tidak dipilih menjadi Sekwilda Poso. Bersama dengan itu kerusuhan yang
terjadi antara Lombogia(kristen) dan Kayamanya(Islam) (nama kelurahan) karena
kenakalan remaja sehingga mengakibatkan 2 orang muslim Kayamanya meninggal,
semakin menyulut konflik tersebut. Sehingga pada konflik Poso Jilid 2 ini
permasalahnnya sangat kompleks yang meliputi kepentingan politik, kenakalan remaja, dan keagamaan.
Konflik
Poso Jilid III (Mei 2000)
Akibat
konflik jilid II terdengar kabar bahwa orang Kristen melakukan penyerangan
terhadap orang Islam. Namun kabar itu dibantah oleh pemerintah setempat. Namun
apa yang terjadi?pukul 03.00 dini hari aksi penyerangan terjadi. Yang
mengakibatkan 1000 orang Islam tewas dan 15.000 umat Islam terbakar. Perbuatan
biadab berupa pembunuhan massal ini menjadi konflik Poso III.
Konflik
Poso Jilid IV (Juli-Desember 2001)
Konflik
Jilid IV adalah merupakan tindakan balasan dari umat Islam terhadap konflik
Poso jilid III yang telah dilakukan umat Kristen. Namun yang membedakan adalah
pada konflik Poso ke tiga, terjadi pemerkosaan dan pembunuhan secara massal dan
sadis. Sedangkan konflik Poso jilid IV tidak terjadi hal yang demikian.
Deklarasi Malino sebagai Model Solusi
Konflik
Apabila konflik tersebut terus
berlanjut maka ditakutkan akan timbul disintegrasi bangsa, namun Menko Polkam
Susilo Bambang Yudhoyono mengushakan agar dilakukannya rekonsilisasi di Malino
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Dan akhirnya terwujud lah deklarasi Malino
pada tanggal 20 Desember 2001 yang berisi 10 item berikut bebrapa isinya
mengenai perjanjian untuk mengakhiri konflik masyarakat muslim dan Kristen di
Poso, menegakkan sikap saling menghargai dan memaafkan, pembangunan kembali
sarana dan prasarana, menjalankan syariat agama masing-masing.
Strategi Membangun Integrasi Nasional dan Penguatan
Negara
Salah satu model yang dikatakan
penulis untuk membentuk integrasi nasional dan penguatan negara adalah
“pendekatan budaya dan etika”. Dimana penerapannya melalui pendidikan
multicultural dan etika. Dengan paradigm multicultural ini diharapkan manusia
mempunyai kompetensi budaya yang meliputi: keterbukaan sikap, kesadaran akan
diri dan orang lain, pemahaman budaya, dan keterampilan budaya (komunikasi
antar kelompok etnis melalui media kesenian). Dan untuk mewujudkan masyarakat
multikultural Indonesia, diperlukan pendekatan etika. Dan menurut Leonardo Boff
ada lima etika yang harus diterapkan yaitu, etika simpati, etika solidaritas,
etika tanggung jawab, etika dialog, dan etika suci. Sehingga diharapkan ketika
lima etika tersebut diterapkan dalam kehidupan masyarakat maka tidak akan lagi
persoalan perbedaan etnis, warna kulit, bahasa, bangsa dan agama.
3.5
Nasionalisme
Kenegaraan (Orde) Baru : Dikaji Ulang
Sejak
peristiwa Reformasi Mei 1998, menarik bahwa yang terjadi di Indonesia adalah
justru gejala tdak sejalannya antara gagasan nasionalisme dan demokrasi. Hal
yang satu bicara tentang keutuhan atau kesatuan kebangsaan, dan hal yang lain
menginginkan kekuasaaan kenegaraan (atas nama) “rakyat”, khususnya di
pemerintahan daerah.
Penyambung Lidah Rakyat
Berbicara
mengenai nasionalisme maka tidak akan jauh dari kepemimpinan nasional. Sejauh
mana seorang pemimpin berperan sebagai “penyambung lidah rakyat”, dan penulis
disini menginginkan kita untuk berpikir kritis bahwa, mungkinkah suara rakyat
bisa tersampaikan apabila hanya “bahasa kosong” yang diucapkan para pejabat
Orang-orang yang jujur dan benar-benar menyuarakan apa yang diingikan rakyat
memang sangat sulit dan langka ditemui di jaman sekarang ini.
Nasionalisme Kerakyatan
Semakin
menjamurnya KKN (Korupsi, kolusi dan Nepotisme ) dan bahasa kosong di negara
Indonesia ini, menjadi akibat sulitnya demokrasi untuk diterapkan. Oleh karena
itu perlu adanya keasadaran dari masyarakat Indonesia untuk kembali pada rasa
nasionalisme yang kini telah hilang khususnya dalam demokrasi, dengan begitu
baru bisa membentuk suatu NKRI yang seutuhnya.
BAB IV
PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DAN KEBUDAYAAN
Pendahuluan
Pada Bab ini sebenarnya pembahasannya berkaitan pada Bab III, dimana
sebagai pengaplikasian/penerapan untuk integrasi nasional dan penguatan negara
yaitu dengan pembangunan Karakter bangsa dan kebudayaan.
Perkembangan Globalisasi dangat cepat kita rasakan, hanya dalam hitungan
jam, menit, bahkan detik, kita bisa “melintasi dunia”. Namun yang menjadi
pertanyaan sekarang adalah karaker Indonesia yang seperti apa yang mampu
menghadapi globalisasi yang kompetitif?dan bagaimana pembentukan karakter
tersebut di tengah-tengah keanekaragaman penduduk Indonesia?
4.1
Pembangunan
Karakter Bangsa
Mentalitas suatu bangsa bisa mendorong atau malah menghalangi
pembangunan. Membangun karakter bangsa berarti membangun keunggulan, daya saing
dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dimana hal tersebut sebagai tolok
ukur dalam meningkatkan daya saing bangsa kita di tingkat global. Sehingga
untuk menumbuhkan daya saing nasional adalah dengan menumbuhkan mayarakat
industrial, dibahas bahwa diharapkan dalam hal ini universitas dapat membentuk
pola tersebut berupa pengajaran dengan lintas-disiplin. Sehingga dengan begitu akan
mampu mengurangi kerentanan masyarakat di tengah kepungan industri kapitalisme
global.
4.2
Generasi
Muda Indonesia: Siapa dan Bagaimanakah mereka?
Siapakah “Generasi Muda Indonesia?”
Apabila kita merujuk pada konsep demografi, maka yang dimaksud generasi
muda adalah penduduk dalam tahap persiapan angkatan kerja atau usia produktif. Dan generasi muda adalg
generasi yang sedang dalam tahap peralihan dari tergantung baik secara
sosial-ekonomi ke tahap mandiri secara sosial-ekonomi. Diperkirakan generasi
muda di Indonesia ini sebanyak 62 juta jiwa.
Generasi muda dalam konsep batasan sosial budaya, berbeda halnya ketika
generasi muda kita lihat dalam konsep demografi yang bisa kita gambarkan dengan
jelas, namun dalam konsep sosial budaya ini generasi muda sangat terkait dengan
keseluruhan masyarakat Indonesia.
Bagaimanakah Keadaan Generasi Muda
Indonesia?
Untuk menjawabnya penulis menyajikan nya dalam berbagai aspek yang perlu
dilihat. Dalam hal pendidikan, yang
bisa kita lihat bahwa dalam hal pendidikan generasi muda kita sebenarnya bisa
bersaing dengan “orang-orang luar”, namun tidak banyak yang mempunyai kenginan
dan tekad yang sungguh-sungguh untuk bisa bersaing dengan dunia luar. Mungkin
ketidakpercayaan diri yang belum kita miliki sepenuhnya untuk bersaing dengan
orang lain. Apabila melihat kurikulum yang sering kali mengalami perubahan
tentu akan berdampak pada proses pembelajaran itu sendiri yang setidaknya
mengalami dampaknya. Dalam hal pendidikan pula kita lihat para kebanyakan para
buruh sekarang sebenarnya mempunyai gelar S1 atau D3. Sangat risakan memang
ketika kita berbicara khususya saya sendiri, melihat keadaan generasi muda
sekarang ini (termasuk saya) yang terbelenggu dalam keadaan seperti ini.
Dalam hal penghidupan, bagaimana keadaan generasi muda kita?dalam hal
penghidupan itu sendiri kita bisa lihat anak yang masih berumur kurang lebih
dibawah 10 tahun sudah bekerja untuk mencari nafkah bagi keluargnya, baik itu
menjadi pengamen atau pemulung sekalipun. Human
Trafficking, alias perdagangan manusia khususnya perempuan merupakan suatu
fenomena yang terjadi di Indonesia. Ini mengisyaratkan apa?ini mengisyaratkan
bahwa kualitas ekonomi yang rendah yang berdampak pada kualita penghidupan itu
sendiri.
Generasi Muda Indonesia di Tengah Gelombang
Globalisasi
Apa yang terjadi pada keadaan generasi muda kita ini tengah
globalisasi?dalam buku ini memang pembahasan yang ada lebih kepada
dikelompokkan agar kita lebih mudah untuk bisa berpikir kritis akan apa yang
terjadi disekitar kita. Disini kita bisa melihatnya dalam sudut Migrasi, di Indonesia yang disebut
sebagai pahlawan devisa itu adalah para TKI dan TKW, mereka para pekerja yang
mencari uang diluar Indonesia beralasan bahwa faktor ekonomi yang memaksa mereka
bekerja seperti itu. Contoh lainnya kita bisa lihat, banyak anak Indonesia
sekarang yang berlomba-lomba untuk kuliah diluar negeri karena dengan
mendapatkan ijazah Internasional dan kembali kedalam negeri maka mereka berharap
akan mendapatkan kedudukan yang baik dalam lapangan kerja, sehingga belajar di
luar negeri pun menjadi idaman dari sebagian generasi muda kita. Dalam hal Telekomunikasi tidak dapat dipungkiri
bahwa kecanggihan teknologi sekarang ini membuat orang semakin mudah untuk
berhubungan dari jarak sejauh apapun. Namun apa akibatnya? Banyak masyarakat
kita yang meniru gaya hidup orang “luar” yang dilihatnya, dan kebanyakan mereka
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kelunturan budaya dan pondasi budaya
yang tidak kuat yang menjadi salah satu faktor itu terjadi. Dilihat dalam aspek
LSM, lembaga swadaya masyarakat. Para
sarjana yang telah lulus banyak menjadikan LSM ini sebagi batu loncatan untuk
memperoleh pekerjaan. Keadaan LSM di Indonesia ini memang cukup membantu karena
bantuannya itu sendiri pun datang dari berbagai lembaga bantuan pembangunan
dunia..
Percampuran dan Pegkristalan
Identitas. Bagaimana kita menyebut gejala keragaman dan campur aduk
pengungkapan identitas generasi muda seperti ini?Dalam perkawinan saja apabila
kita contohkan maka, banyak sekarang ini perkawinan campur antaretnis dan
antarbangsa. Dan disini agama yang berfungsi mempersatukan umat, ternyata juga
berfungsi sebagai pembeda-pemisah yang sangat kuat. Terjadi pengkotatakan antar
agama itu sendiri.
Kesimpulannya kaitan antara keadaan generasi muda skarang ini dengan
karakter bangsa, yang didukung dengan globalisasi, maka ada dampak positif dan
negatif yang dapat kita ambil. Namun pada intinya dari apa yang say abaca
adalah untuk terwujudnya karakter bangsa yang unggul tentu masih terlalu jauh.
Disini peranan negara sangat penting untuk mendukung para generasi penerus
bangsa ini agar tetap memajukan kehidupan bangsa ini.
4.3
Membangun
Kembali Karakter Bangsa: Suatu Diskusi Teoritis
Dalam sub bab ini sebenarnya dalam bahasan bukunya memerlukan penjelasan
yang lumayan panjang lebar, namun saya akan mencoba untuk memaparkannya secara
lebih ringkas namun tetap tertuju dengan apa yang dimaksud untuk diuraikan.
Bangsa Sebagai Prinsip Politik
Apabila kita mengutip apa yang
dikatakan Ernest Gellner (1983) tentang nasionalisme: “Nasionalisme adalah
prinsip politik, yang berarti bahwa satuan nasion (bangsa) harus sejalan dengan
satuan politik. Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai gerakan, paling
tepat didefinisikan dalam konteks prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah kondisi emosional berupa ketidakpuasan
yang timbul akibat pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini
dijalankan dengan baik. Gerakan nasionalis
diaktualisasikan oleh sentimen semacam ini”. Ini membuktikan apa?pernyataan mengisyaratkan
bahwa memang sebuah beangsa sebagai prinsip politik, dan apabila ditinjau dari
perpspktif yang berbeda dari nasionalisme itu sendiri yang merupakan prinsip
politik.
Nasionalisme Sebagai Fenomena Kultural
Untuk melihat karakter bangsa bisa
kita lihat dari masyarakatnya itu sendiri. Dan sekarang bagaimana kita bisa
melihat karakter dari masyarakat Indonesia yang bersumber dari masyarakat? Kita
bisa mlihatnya dari ekspresi yang terpancar dari kebudayaan masyarakat.
Negara-Bangsa
Negara Bangsa memiliki administrasi
birokrasi dan undang-undang tertulis yang meliputi semua warga negara, dan
memiliki sistem pendidikan yang seragam di seluruh negeri, dan pasar tenaga
kerja yang sama bagi semua warga negara. Hampir semua negara-bangsa di dunia
miliki bahasa nasional yang digunakan untuk komunikasi resmi. Suatu cirri khas
dari negara bangsa adalah konsentrasi kekuasaan yang luar biasa. Cukup jelas
bahwa Indonesia adalah salah satu contoh negara-bangsa.
Karakter Bangsa: Pergulatan antara Nation-State dan Welfare-State
Nation
State adalah negara yang memancarkan karakter bangsa berupa kebebasan. Namun
banyaknya kebebasan disini disalahartikan dimana jadinya negara hanya menjadi
fasilitator karena kebanyak kepntingan politik dan ekonomi. Berbeda halnya
dengan Welfare State, yakni negara yag mengutamakan kesejahteraan warganya
tanpa harus memosisikan ideologi kebangsaan yang kental sebagai sentralnya.
Jadi piihannya sekarang kita ingin menjadi Welfare State atau Nation State?
4.4
Membangun
Karakter Bangsa Dalam Perspektif Papua
Bahasan
kali ini bertujuan untuk membahas tentang suatu fenomena yang terjadi di Tanah
Papua yang penulis namakan “perilaku menyimpang” dari kelompok elite tertentu
di Tanah Papua sebagai contoh untuk memperlihatkan pengaruh pengalaman sejarah
peradaban yang berbda terhadap proses penerimaan modernisasi. Dicontohkan
bagaimana munculnya perilaku menyimpang pada kelompok elite di Tanah Papua dan
apa dampaknya terhadap pembangunan?
Semenjak
adanya kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah pada masyarakat Papua yang
asalnya hanya memiliki 14 kabupaten/kota menjadi 34 kabupaten /kota. Apa yang
terjadi setelah itu? tentu perlu adanya
pemimpin untuk memimpin daerah tersebut. Singkat cerita para masyarakat
Papua menganggap bahwa yang dinamakan otonomi daerah adalah kebebasab
masyarakat untuk memilih darimana asal pemimpin itu sendiri. Masyarakat Papua
merasa bahwa seorang pemimpin itu haruslah putera daerah disan dan tidak boleh
dari daerha lain, karena mereka menganggap ya otonomi daerah tadi dan menggap
bahwa akan lebih berhasil dalam membangun daerahnya karena berasal dari
masyarakat itu sendiri dan lbih tau apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Sehingga prsyaratan formal dan kualitas pemimpin pun dinomorduakan. Setelah
pengangkatan tersebut banyak warga atas kepentingan pribadi meminta bantuan
untuk kebutuhannya dimulai dari transportasi anak skolah, mengongkosi upacara
adat, atau alasan untuk berobat keluarga. Pertamanya seorang pemimpin disana
mungkin bisa mengatasinya karena ada dana bantuan sosial untuk kepentingan
seperti itu yang disebut dana taktis, namun semakin kemari dana taktis akan
semakin menipis dan akhirnya membuat seorang pemimpin disan untuk mengambil
dana pembangunan untuk kepentingan tersebut. Disini mulai terjadi perilaku
menyimpang. Akhirnya untuk menghindari para warga, pemimpin disana berdiam di
rumah dengan alasan sakit dan akhirnya karena tidak tahan di rumah juga
sesperti terkurung ia jadi beralasan untuk pergi dinas ke luar kota, dengan
dana apa?tentu dana yang seharusnya untuk pembangunan masyarakat.
Dari
contoh peristiwa tersebut ada dua hal yang perlu disikapi, penggunaaan dana
pembangunan untuk kepentingan kelompok dan pribadi dan ktidakmampuan soeorang
pemimpin untuk mengemban tugas yang telah diberikan. Namun perlu juga disini
menyikapi pengetahuan masyarakat mengenai otonomi daerah itu sendiri. Sehingga
apa yang dianggap baik dan benar oleh suatu kebudayaan tertentu belum tentu
mendapat penilaian yang sama dari kebudayaan lain. Dengan belajar seperti ini
maka kita diharapakan untuk berpikir kritis untuk membangun karakter bangsa
yang dicita-citakan.
4.5
Kebijakan
Pembangunan Karakter Bangsa: Suatu Tinjauan Prospektif
Karakter Bangsa yang Harus Dimiliki
Dalam buku Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan
Pembangunan, Koenjaraningrat telah mengidentifikasi setidaknya lima mentalitas,
karakter atau sifat bangsa Indonesia yang menghambat pembangunan yakni : (1)
mentalitas meremehkan mutu; (2) mentalitas suka menerabas; (3) sifat tidak
percaya kepada diri-sendiri; (4)sifat tidak berdisiplin murni; dan (5) sifat
tidak bertanggung jawab. Dilihat dari penjelasan di atas, artinya karakter
bangsa yang harus dimiki bangsa Indonesia itu seperti apa? Pertama, berarti
sifat menghargai mutu/ kualitas. Kedua kesabaran untuk meniti usaha dari awal.
Ketiga adanya rasa percaya diri karena yakin dirinya berkualitas. Keempat sikap
disiplin dalam waktu dan pekerjaan, dan kelima adalah sifat mengutamakan tanggung
jawab.
Strategi Kebijakan Karakter Bangsa
Mewujudkan suatu kebijakan tentang pembangunan karakter bangsa dari
tinjauan prospektif bukanlah hal yang mustahil dilakukan, melainkan dapat
dilaksanakan dengan berbagai startegi, antara lain: (1) Membangun kesadaran
dari komitmen bersama bahwa tema pembangunan karakter bangsa merupakan tema
besar dan penting bagi pembangunan bangsa dan negara. Bahwa pembangunan
nasional haruslah dimaknai sebagai pembangunan bangsa dan pembangunan karakter
bangsa. (2) Untuk mencapai hal tersebut pada poin satu, maka dibutuhkan
dukungan pemikiran dari berbagai disiplin ilmu, tentang bagaimana merumuskan
konsep pembangunan karakter bangsa ke dalam pembangunan nasional. Disinilah
peran para ilmuwan yang ikut aktif dalam merumuskan konsep dari pembangunan
karakter bangsa yang disebutkan Koentjaraningrat.
BAB V
KEBUDAYAAN DAN LINGKUNGAN
Pendahuluan
Pada Bab ini sebenarnya lebih kepada refleksi pemikiran dari apa yang ada
disekita kita selama ini, sadar akan kearifan lokal yang masih terjaga sampai
sekarang dan yang membantu dalam melestarikan lingkungan dan kebudayaan bangsa
Indonesia.
5.1
Swadaya
dan Kolaboratif Komunitas Adat dalam Melestarikan Lingkungan dan Sumber Daya
Alam
Tanpa kita sadari dari apa yang ada disekeliling kita sebenarnya kaya
akan kebudayaan yang tidak negara lain miliki. Disni dicontohkan mengenai
bagaimana interaksi manusia dengan hutan yang dipresentasikan oleh warga
Kasepuhan yang hidup tersebar di berbagai kampung di sekitar daerah Banten
Selatan, Bogor Selatan, dan Sukabumi Selatan di kawasan Gunung Halimun di Jawa
Barat.
Di kalangan warga Kasepuhan terdapat anggapan bahwa alam semesta itu
sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Mereka beranggapan setia
makhluk hidup di alam jagad raya ini memiliki masing-masing ruang dan hak
hidup. Keyakinan mereka bahwa terganggunya keteraturan hubungan sebagai
komponen fisik dan non-fisik yang hidup di alam jagat raya ini, dapat
menimbulkan malapetaka bagi kehidupan
manusia. Dalam bahasan ini sangat dijelaskan bagaiaman mereka sangat
menjunjung tinggi kebudayaan yang mereka miliki yang didapat dari nenek
moyangnya. Untuk mencapai rasa manunggal, warga Kasepuhan mengembangkan suatu
konsep ajaran, dasar moral, yang mereka sebut “ngaji diri”. Konsep ajaran
tersebut dapat diartikan sebagai “mawas diri” atau “memahami diri sendiri” yang
didalamnya tercermin pula pengertian “koreksi diri”. Ini mencontohkan kepada
kita bahwa apa yang kita sebut sebagai sesuatu yang kuno dalam hal ini
kebudayaan, malah kita yang sepertinya tertinggal oleh mereka, konsep mawas
diri yang sangat mereka tanamkan sebenarnya kita telah mengetahuinya, namun
mungkin implementasi dari mawas diri yang kita lakukan tidak bisa berjalan
dengan baik seperti mereka, persaan untuk tidak membenci dan iri kepada orang
lain yang merupakan sifat buruk manusia.
Menurut mereka agar kehidupan diri manusia itu selaras maka ucap jeung leumpah(ucapan dan perbuatan)
harus seirama. Dimana ada ungkapan yang menjadi pedoman mereka, “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo
kudu suci, dahar kudu halal, kalawan ucap kudu sabenerna, mupakat kusu
sarerena, naghulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara”.
Dilihat dalam persepsi tentang hutannya pun mereka membagi kawasan atau
membagi tiga jenis hutan disekitar lingkungan hidupnya yaitu : (1) Leuweung Kolot atau hutan tua yang
mereka anggap sebagai hutan lebat yang tidak boleh dieksploitasi oleh manusia
(2)Leuweung Titipan disebut sebagai
hutan keramat, hutan yang hanya boleh
digunakan warga Kasepuhan apabila sudah ada perintah dari nenek moyang mereka,
yang disampaikan melalui wangsit atau ilapat yang diterima sesepuh girang.(3) Leuweung
Sempalan. Hanya hutan inilah yang trbuka untuk digarap setiap saat oleh
warga Kasepuhan dalam usaha mendukung hidup mereka. Mereka beranggapan bahwa
baik leuweung kolot maupun leuweung titipan harus dijaga
kelestariannya dan terhindar dari “tangan jahil manusia”.
Struktur Kalender Pertanian mereka juga sangat baik, kapan mereka bisa
bertani mereka berpedoman pada dua jenis bintang yaitu bintang Kidang dan
bintang Kerti.
Dari percontohan diatas, sebenarnya menyadarkan khususnya saya sendiri
sebagai masyarakat Sukabumi (yang asalanya tidak tahu) bahwa kita mempunyai
Kebudayaan yang patut jaga yaitu Waraga Kasepuha, merefleksi pemikiran kita
bahwasanya kearifan lokal yang itu bisa menjadi contoh bagaimana mereka menjaga
masyarakat yang ada dengan persatuan yang erat dan pedoman yang jelas. Bagaimana
mereka sangat mematuhi aturan dan adat yang berlaku ditempatnya dan bagiaman
mereka dengan baik mengelola hutan dan lingkungan yang mereka punya untuk
memajukan dan mensejehterakan masyarakat mereka sendiri. Seharusnya kita bisa
menyadari bahwa dengan adanya mereka, sangat berperan dalam menajaga lingkungan
dan kebudayaan yang Indonesia miliki. Bukan hanya mengatasnamakan kepentingan
bersama namun untuk tujuan kepentingan individu. Disini membuka pikiran saya
khususnya pembaca untuk lebih memperhatikan kearifan lokal yang brada disekitar
kita yang patut dijadikan contoh dan kita jaga sebagai warisan budaya bangsa
yang Indonesia miliki sampai saat ini.
5.2
CSR
Dalam Penyelenggaraan Lingkungan dan Sumber Daya Alam Indonesia
Bahasan
ini lebih kepada peran CSR (Corporate Social Responsibility), dimana tulisan
ini adalah tentang sumber daya alam yang dipusatkan kepada kegiatan
pertambangan dalam arti luas, dengan demikian juga mencakup sub-sektor minyak
dan gas bumi, namun tidak mencakup sekotor-sektor lain dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam seperti kehutanan, kelautan, dan perkebunan.
CSR
adalah komitmen untuk berperilaku etis dan memberikan kontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan, melalui kerja sama denga semua pemangku kepentingan
guna memperbaiki kehidupan mereka dengan cara yang bermanfaat bagi bisnis,
agenda pembangunan berkelanjutan maupun masyarakat pada umumnya.
Sehingga
dalam bahasan ini lebih menjelaskan pada dampak positif dan negatifnya CSR
dalam pertambangan. Dimana sebenarnya masyarakat didaerah pertambagan lebih
menerima dampak negatif dari pertambangan yang baik itu berupa libah, ataupun
kebijakan pembagian hasil dari pertambangan itu sendiri yang sebenarnya miliki
mereka.
5.3
Praktik-Praktik
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ancaman Bencana Ekologis di Indonesia
Tak bisa dipungkiri, semakin banyaknya pembalakan liar (Illegal logging) menjadi ancaman besar
bagi hutan Indonesia. Tanpa adanya penanaman kembali dengan baik tentu hutan
kita akan tumbuh begitu saja dengan cepat seperti kita ketika menyeduh kopi.
Ketika kopi habis kita bisa membuatnya lagi dengan mudah. Namun bagaimana
dengan hutan? Siapa yang dapat bertanggung jawab dengan semua ini? saya?kita?negara?ataukah
anda (para pembalak liar)? Kekuasaan pemerintah disini sangat berpern penting
untuk menjaga hutan kitan. Andai saja pemerintah bisa lebih tegas dalam
meyikapi illegal logging, maka tidak aka nada hutan yang “ujug-ujug
hilang/terbakar”. Namun mungkin sebeum “mereka” sadar kita sebagai yang sudah
“sadar” untuk membantu menjaga hutan kita dengan baik.
Selain mengenai hutan, dalam hal kelautan dan pertambangan juga
praktik-pratik penyimpangan SDA juga semakin tinggi, apabila mengenai
pertambangan telah kita jelaskan tadi sebelumnya diatas, dan untuk maslah
kelautan. Banyak dari pesisir pantai Indonesia sekarang ini lebih banyak
dijadikan kawasan untuk usahasperti mall dan pertokoan yang tentu nantinya akan
berdampak pada ekosistem tersebut.
Ancaman serius di depan ada pada masalah air, energi, dan pangan.
Contohnya di Jakarta saja kita bisa mengetahui bahwa mereka kurang bisa
mendapatkan air bersih, dan banyak dikabarkan bahwa air di Jakarta sebenarnya
sudah tidak layak pakai. Mungkin Jawaban yang bisa kita ambil untuk
pemecahannya itu sendiri dengan kpempinan nasioanal yang kuat, efektif, dan
berpihak pada kepentingan rakyat. Dan
kedua membangun rakyat kritis, kritis terhadap situasi yang terjadi di
Indonesia sekarang ini, kritis akan ancaman yang sedang mengintai kita. Sehingga diharapkan hanya
dengan rakyat kritislah percepatan terjadinya perubahan Indonesia yang
berdaulat dan bermartabat dapat tercapai.
5.4
Manusia
dan Lingkungan Hidup
Dalam
bahasan ini, yang terakhir lebih kepada bagaimana kita sebagai manusia untuk
bisa menjaga lingkungan sekitar kita, lingkungan hidup yang menjadi penghidupan
kita, kehidupan dimana kita hidup dan berasal. Jangan samapi kita memperebutkan
sumber daya alam dan lingkungan yang seharusnya kita jaga, apabila hal tersebut
tidak bisa dikendalikan maka gerakan terrorism yang dilakukan oleh negara adidaya
maupun oleh kelompok-kelompok kecil akan terus meningkat dalam jumlah maupun
intensitasnya. Karena itu diperlukan kesepakatan bersama untuk menata ulang
pola-pola hubungan antarsesama manusia dan manusia dengan lingkungannya dengan
memerhatikan keadilan sosial, demokrasi politik, dan kebebasan budaya.
BAB VI
PENUTUP
Pada bagian
penutup ini saya akan sedikit menyimpulkan apa yang telah dibahas di atas hasil
dari apa yang saya analisis dari buku Perspektif
Budaya ini, dan hasil dari apa yang saya dapat setlah membaca buku ini.
Saya simpulkan bahwasanya dalam hal ideologi atau keyakinan kita akan bangsa
ini tentu harus berdasarkan pedoman yang kita junjung selama ini yaitu
Pancasila. Tidak banyak orang yang berpikir untuk selalu berpikiran maju
kedepan tanpa adanya krisis percaya diri atau meremehkan mutu seperti apa yang
Koentjaraningrat tulis dalam bukunya mengenai Mentalitas bangsa Indonesia. Meskipun
arus Globalisasi semakin tumbuh dan berkembang di Indonesia, apabila kita
mempunyai pondasi yang kuat untuk menghadangnya maka, pengaruh-pengaruh
Globalisasi tidak akan brdampak pada apa yang menjadi budaya dan ciri khas dari
masyarakat Indonesia. Dimana akan terlihat ciri atau karakter dari bangsa
Indonesia itu sendiri dari ekpresi kebudayaan yang terpancar dari
masyarakatnya. Bagaimana masyarakat menjaga kearifan lokal yang ada seperti
masyarakat Kasepuhan dan terus membantu untuk melestarikan lingkungan seharunya
membuka pikiran kita sebagai genrasi penerus bangsa (khususnya saya sendiri),
untuk “melek” budaya yang ada disekitar kita yang merupakan warisan yang harus
kita jaga dan lestarikan sebagai kekayaan yang dimiliki Indonesia. Bahaya
apapun yang sedang mengancam kita kedepannya, selam kita bersama, bersatu untuk
mngahadapinya, maka apaun yang akan terjadi dapat kita hadapi dengan baik. Seperti
pada akhir bab V dikatakan bahwa hanya rakyat yang kritis lah perubahan dapat
terjadi, kritis terhadap situasi yang terjadi di Indonesia sekarang ini, dengan
begitu seorang pemimpin akan malu dengan kepemimpinannya, ketika rakyat lebih
kritis dari apa yang mereka duga. Membaca buku ini, membuka critical thinking, kemampuan berpikir
kritis saya akan keadaan di Indonesia, membuka cakrawala pengetahuan yang
sebelumnya tidak saya ketahui, mengetahui keadaaan sosial yang tidak saya
sadari, melihat kearifan lokal yang tidak terjamah sebelumnya dan bahkan tidak
saya ketahui sebelumnya sebagai masyarakat Sukabumi, sebelum saya membaca buku
ini. Semoga apa yang saya analisis dari buku ini, dari apa yang saya pahami
setelah membaca bukunya, dapat bermanfaat bagi pembaca. Sehingga dapat
terbentuk karakter bangsa yang kita harapkan kedepannya untuk kemajuan bangsa
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Penyunting Widianto, Bambang dan
Pirous, Meulia. (2009). Perspektif Budaya.
Jakarta: Rajawali Pers.
[1]
Penyunting Widianto, Bambang dan Pirous, Meulia. (2009). Perspektif Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman: 75.
[2]
Penyunting Widianto, Bambang dan Pirous, Meulia. (2009). Perspektif Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman: 76
[3]
Penyunting Widianto, Bambang dan Pirous, Meulia. (2009). Perspektif Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman: 96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar