CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 28 Juni 2013

Mengapa Langit Berwarna Biru?




Bila semua cat berwarna dicampur akan menjadi warna hitam dan bila semua sinar berwarna dicampur menjadi warna putih. Sinar matahari yang terlihat oleh kita terlihat putih padahal terdiri dari berbagai warna sinar yang bercampur merata. Tetapi langit terlihat kebiru-biruan. Mengapa begitu? Sinar putih yang datang dari matahari, ketika mencapai atmosfer akan mendapat perlakukan berbeda-beda sesuai warnanya.


Atmosfer berisi partikel-partikel yang kecil antara debu, uap, nitrogen, oksigen, dan lain-lain. Sinar-sinar yang ke arah pihak infra merah yang gelombangnya relatif panjang dibandingkan partikel-partikel tadi, akan berjalan tanpa dihamburkan . Tetapi sinar biru yang gelombangnya pendek, akan menumbuk partikel-partikel di atmosfer, kemudian terhambur ke segala arah.


Makanya bila kita memandang langit (bukan ke arah matahari) yang terlihat adalah warna biru. pada senja hari mengapa langit terlihat merah? Pada senja hari sinar matahari datang dari arah horizon. Cahaya harus menembus atmosfer yang tebal dibandingkan bila matahari sedang tegak di atas kepala. Sinar biru dihamburkan oleh atmosfer yang tebal, sehingga yang tersisa adalah sinar kuning dan merahnya saja.





Sinar Merah
Sinar biru yang pendek sudah terhambur oleh atmosfer, tetapi sinar merah bisa menembus sampai jauh. Segitiga pengaman pada lalu lintas di jalan yang didirikan di dekat mobil yang berhenti karena kecelakaan, lampu rem, dan lain-lain menggunakan warna merah karena bisa terlihat dengan baik dari jarak jauh. Tetapi bila Musim Gugur tiba mengapa langit terlihat lebih biru? Itu karena di musim gugur udara lebih kering, tidak banyak uap air. Partikel-partikel yang ada lebih kecil, sehingga sinar yang terhambur lebih banyak yang violet daripada biru. Jadi langit musim gugur terlihat lebih membiru daripada langit musim panas

Sabtu, 22 Juni 2013

Mengenal Huruf Hijaiyah

Ayooo.. Siapa yang tahu huruf Hijaiyah itu apa sajaaa?????




Sudah tau kan sekarang apa saja huruf Hijaiyah itu...
Sekarang... agar kita tahu bagaimana cara mengucapnya, coba lihat deh video di bawah ini.. :)


Mengapa Semut Tidak Mati Bila Jatuh dari Tempat yang Tinggi?

Ada dua macam gaya yang bekerja pada benda yang dijatuhkan dari atas-bawah. Yang pertama. semua benda yang ada di atas bumi jatuh be bawah karena adanya gaya gravitasi bumi. Dalam pembicaraan sehari-hari biasa disebut sebagai jatuh ke tanah.


Yang kedua, adalah gaya yang menghambat benda yang sedang melayang jatuh. Gaya hambat ini muncul dari partikel-partikel udara. Gaya hambat ini arahnya k atas. Karena gaya gratvitasi ke bawah lebih besar daripada gaya hambat ke atas, benda bergrak ke bawah.

Berapa bsar gaya ke bawah bisa diketahui dari percepatan gravitasi bumi dan massa benda. Besarnya gaya hambat oleh udara bisa diketahui dengan membandingkan kecepatan benda di udara dibandingkan dengan kecepatan di ruang hampa. Besarnya tenaga bisa dihitung dari ketinggian benda.

Serangga yang kecil seperti semut ketika jatuh gaya ke bawahnya juga kecil karena ditahan oleh gaya hambat udara. Udara menahan gerak jatuh semut, sehingga semut jatuh secara perlahan-lahan. Bila diruang hampa, smut akan jatuh dengan keras karena gaya hambatnya nol.
(Sumber : Written by Configurasi Quasars Design, Cartoneed by Song Jun Pil. (2010). Oh, Don’t You Know That. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman: 80-81)


Lebih dulu Ayam? Lebih dulu Telur?


Sebuah pertanyaan yang sungguh sulit dijawab, lebih dulu manakah ayam atau telur ayam. Karena ayam ditetaskan dari telur, dan telur ‘dilahirkan’ oleh ayam. Soal ini masih tetap menjadi teka-teki dan belum ada kesepakatan apa jawabannya yang benar.
Tetapi ayam bisa lebih dulu bila mncari tahu dari pernyataan para ahli yang mampu membuktikan. Saat melihat perkembangan seluruh evolusi kehidupan, yang dikenal dengan teori evolusi, ada binatang yang menghasilkan telur dan menetas menjadi ayam. Ada pula ketentuan yang mengatakan bila ada anak seharusnya ada ibu. Tapi anak bisa berbeda dari ibunya karena evolusi.
Dalam hal ini, spertinya harus lebih dulu ada ayam yang menghasilkan telur ayam berdasarkan perkembangbiakan ras oleh evolusi kehidupan. Bingung? Yang lebih meyakinkan adalah pernyataan lebih dulu ada ayam.

(Sumber : Written by Configurasi Quasars Design, Cartoneed by Song Jun Pil. (2010). Oh, Don’t You Know That. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman: 41)

Apakah Binatang juga Punya Pusar?


Siapapun orangnya pasti punya pusar. Pusar ini ada di "pusat" tubuh manusia secara medis, yaitu berada di bagian tengah tubuh san pusat gaya berat tubuh. Dari pusar, panjang atas-bawah tubuh manusia sama.

apakah para binatang juga punya pusar?Jawabannya "YA". Lebih tepatnya semua mamalia mempunyai pusar. Mamalia ialah kelompok hewan menyusui. Janin mamalia di dalam kandungan meneriman zat melalui selang yang disebut tali pusar (umbilical cord) dari induknya. Pusar yang merupakan lubang pada tubuh bekas saluran tersebut yang terbawasetelah lahir di dunia.

Oleh karena itu pusar manusia bisa disebut jalan kecil yang datang dan ikut dalam sejarah manusia. tentu saja binatang mamalia yang lain juga sama.

(Sumber : Written by Configurasi Quasars Design, Cartoneed by Song Joon Pil. (2010). Oh, Don’t You Know That. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman: 34)

Mengapa Ikan Laut Tidak Hidup di Air Tawar?

Sebagian besar ikan laut akan mati bila dikeluarkan dari laut dan dipindahkan ke air tawar, atau ikan air tawar dipindahkan dari air tawar ke air laut. Tetapi ada juga jenis belut dan ikan salmon yang bisa hidup dengan air tawar di sungai maupun air yang asin dilaut.


                            
Penyebabnya adalah fenomena osmosis. Bila air tawar dan air asin dipisahkan oleh membrane, air tawar akan menembus mebran menuju ke air asin. Secara umum, air akan berpindah  dari cairan yang konsentrasinya rendah ke cairan yang konsentrasinya lebih pekat. Aliran akan berhenti setelah kepekatannya sama.
Tubuh ikan sudah mempunyai control osmosis sesuai lingkungan yang seharusnya. Bila dipindahkan ke jenis air yang jauh berbeda kadar garamnya, control osmosis tidak mampu lagi mengatur kadar cairan di dalam tubuhnya. Akibatnya ikan akan mati.



Ikan laut ketika bernapas memasukkan air ke dalam mulutnya dan keluar melalui insang. Insangnya mempunyai sel khusus yang menolak garam. Air yang diminum pun akan dibuang garamnya melalui kencing. Kencing ikan laut berkadar garam tinggi.
Yang terjadi pada ikan air tawar adalah sebaliknya. Air tawar kadar garamnya rendah. Ikan air tawar berusaha mengabsorspsi (menyerap sacar aktif unsure garam dari air atawar denagn banyak minum dan banyak kencing


(Sumber : Written by Configurasi Quasars Design, Cartoneed by Song Jun Pil. (2010). Oh, Don’t You Know That. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman: 16)

Bagaimana Cara Bunglon Mengganti Warna Tubuhnya?


Bunglon adalah binatang yang ajaib yang bisa menggant-ganti warna kuiltnya. Tujuannya adalah untuk menyamar ketika berburu serangga, dan untuk perlindungan diri agar tidak terlihat oleh pemangsa. Selain itu bunglon juga binatang yang paling baik kemampuannya dalam mengubah warna kulitnya. Bunglon bisa menangkap mangsa dengan rnudah karena warna tubuhnya diubah menjadi sama dengan lingkungan sekitarnya sehingga tidak terlihat oleh serangga yang akan ditangkapnya. Bagaimanakah cara bunglon mengganti warna kulitnya? Bunglon punya banyak pegmen di bawah kulitnya. Pigmen ini berwarna cokelat, hijau, dan kuning. Bila sel pigmen ini mengecil warnanya menjadi pudar dan bila sel pigmen ini mernbeser warnanya menjadi pekat Dengan mengatur pigmen apa saja yang rnembesar atau mengecil dan berapa banyak sel pigmen yang membesar atau mengecil, bisa diperoleh berbagai macam warna.
                         



Perubahan warna tubuh bunglon ini dipengaruhi oleh berbagai macam kondisi,
antara lain suhu lingkungan, kekuatan cahaya dari lingkungan, dan apa yang sedang dirasakan. Misalnya, sedang merasa ketakutan atau sedang merasa menang. Semuanya itu mengubah wama kulitnya.

(Sumber : Written by Configurasi Quasars Design, Cartoneed by Song Jun Pil. (2010). Oh, Don’t You Know That. Jakarta: PT Elex Media Komputindo)


BOOK REPORT
PERSPEKTIF BUDAYA
(Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous)

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perspektif Sosial Budaya



Disusun oleh :  
Kelas D

Cheenia Oktriyani                   (06.316.1111.146)





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS  KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2013

IDENTITAS BUKU

Judul Buku          : Perspektif Budaya ; Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lectures I-V/ 2004-2008
Pengarang            :    Disunting oleh Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous
Tahun Terbit        :    2009
Penerbit               :    Rajawali Pers
Bab                      :    V bab
Halaman              :    378 halaman
  KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunianya saya dapat menyelesaikan Laporan Hasil Analisis Buku Perspektif Budaya ini tepat pada waktunya. Dimana laporan ini saya buat berdasarkan hasil dari apa yang saya pahami setelah saya membaca buku ini. Sehingga isinya pun murni dari apa yang saya mengerti sehingga senantiasa dapat berbagi ilmu kepada pembaca secara tidak langsung.
Seiring dengan itu, saya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dosen yang memberikan Mata kuliah ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesehatan serta rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
 “Tiada gading yang tak retak”. Saya menyadari bahwa hasil analisis saya ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan laporan hasil analisis buku ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.


                                                                        Sukabumi, 10 Juni 2013


                                                                                           Penyusun






DAFTAR ISI

Identitas Buku ..............................................................................................             i
Kata Pengantar .............................................................................................             ii
Daftar Isi ...................................................................................................... iii
Pendahuluan .................................................................................................             iv
BAB I       Ideologi dan Kebudayaan  .........................................................             1
1.1  Demokrasi dan Kebudayaan (Jakob Oetama) ................................. 2
1.2  Kebijakan Otonomi Daerah :
Otonomi Pendidikan Dalam Perspektif Sosial Budaya
(Achmad Fedyani Saifuddin) ........................................................... 4
1.3  Rujukan Lembaga-lembaga Demokrasi Dalam Ranah Komunitas
      Lokal (PM Laksono) ........................................................................ 8
BAB II      Terorisme dan Kebudayaan ................……………..................   10
2.1  Terorisme dan Kebijakan Penanganannya (Ansyad Mbai) ..............   10       
2.2  Dimensi Internasional Terorisme (Riza Sihbudi) .............................   10
2.3  Perang di Luar Kedaulatan (Sovereignty), Perdamaian di Luar
Perwakilan (Representation) (Engseng Ho) ....................................   13
BAB III    Penguatan Negara, Integrasi Nasional, dan Kebudayaan .......... 15
3.1  Penguatan Negara dan Integrasi Nasional (Juwono Sudarsono) ..... 16
3.2  Integrasi Nasional dan Penguatan Negara Dalam Perspektif
Antropologi, Kasus Papua (Nafi Sanggenafa) ................................. 17
3.3  Integrasi Nasional dan Penguatan Negara (Qodri Azizy) ................. 20
3.4  Suatu Pendekatan Budaya dan Etika Dalam Resolusi
Konflik (Sulaiman Mamar) ..............................................................             20
3.5  Nasionalisme Kenegaraan (Orde) Baru: Dikaji Ulang
(Budi Sasonto SJ) ............................................................................. 22
BAB IV    Pembangunan Karakter Bangsa dan Kebudayaan ……......... 24
4.1  Pembangunan Karakter Bangsa
(Gumilar R. Somantri) ………..................................................... 24
4.2  Generasi Muda Indonesia: Siapa dan Bagaimanakah Mereka?
(Selly Riawanti) ................................................................................ 24
4.3  Membangun Kembali Karakter Bangsa: Suatu Diskusi Teoritis
(Achmad Fedyani Saifuddin) ........................................................... 26
4.4  Membangun Karakter Bangsa Dalam Perspektif Papua
(J.R Mansoben) ................................................................................ 28
4.5  Kebijakan Pembangunan Karakter Bangsa: Suatu Tinjauan
Prospektif (Meutia Hatta Swasono) ................................................. 29

BAB V      Kebudayaan Dan Lingkungan ………………...……….........             30
5.1  Swadaya dan Kolaboratif Komunitas Adat Dalam Melestarikan
Lingkungan dan Sumber Daya Alam (Kusnaka Adimihardja) .... 30
5.2  CSR Dalam Penyelenggaraan Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Indonesia (Noke Kiroyan) ................................................................ 32
5.3  Praktik-praktik Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ancaman
Bencana Ekologis di Indonesia (Chalid Muhammad) ..................... 32
5.4  Manusia dan Lingkungan Hidup (S. Boedhisantoso) ...................... 33

BAB VI     Penutup ......................................................................................             34
PENDAHULUAN
PERSPEKTIF BUDAYA: SEBUAH AWAL
Bambang Widianto
               
       Krisis moneter 1997 yang dimulai di Thailand dan akibatnya yang menjalar ke Indonesia, berpengaruh pada reformasi di Indonesia pada bulan Mei 1998. Setelah reformasi berlangsung, beberapa tahun kemudian ada pertanyaan yang muncul, di kalangan ilmuwan sosial: “Mengapa pemulihan kesejahteraan tidak sesuai dengan harapan?” Pertanyaan ini terjadi saat melihat bahwa beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan yang terkena krisis moneter mampu memulihkan diri dengan relative lebih cepat. Persoalan setelah itu adalah bagaimana menghadapi krisis moneter tahun 2008 yang diawali dari Amerika, saat pemulihan keadaan di Indonesia dianggap belum memuaskan? Di kalangan Ilmuwan Antropologi yang sangat suka mempergunakan gagasan kebudayaan, evolusi, dan adaptasi, muncul pertanyaan: “ Bagaimana dan apa yang salah dari aspek kebudayan?”
       Koentjaraningrat menyebut kebudayan sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, dan dijadikan milik bersama melalui proses belajar (1980). Kehidupan bermasyarakat, merupakan tujuan bagi masyarakat dan negara yang menjadi kerangka atau blue-print. Budaya (cultural) sebagai kata sifat menandai titik pandang permasalahan. Perspektif budaya (cultural perspective) melihat pada norma dan nilai yang terkandung dalam gagasan, perilaku, dan karya manusia. Di dalamnya ada refleksi dan proyeksi yang melihat peran ilmuwan dan peminat ilmu sosial yang lain di masa depan.
       Peran dalam posisinya sebagai interpreter, basic scientist, sebagai consultant, dan sebagai activist yang mampu berkomunikasi.
       Buku ini mengarah pada sejumlah pokok pembahasan dalam rangkaian  Koentjaraningrat Memorial Lecture sejak 2004 hingga 2008. Pokok pembahasan tersebut adalah demokrasi, terorisme, penguatan negara, karakter bangsa, dan masalah lingkungan. Selanjutnya bagian pendahuluan ini berawal dari telaah atas problem yang masih ada dan laten, disertai potensi penyelesaiannya.


I.        Problem
       Problem secara sederhana adalah kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Kegagalan mencapai harapan akan menimbulkan kekecewaan. Di sini, program kerja yang tidak terpenuhi dapat membuat kekecewaan yang berakhir pada hilangnya kepercayaan sosial. Kegagalan negara memenuhi janjinya dapat mengecewakan rakyatnya dan menghilangkan kepercayaan sosial. Roger Kasperson sebagai pakar risiko menyebutkan kepercayaan sosial mensyaratkan antara lain komitmen (commitment), kompetensi (competence), kepedulian (care), dan kepastian (predictability). Pemenuhan tanggung jawab sosial (social responsibility) akan meningkatkan kepercayaan sosial. Tanggung jawab yang tidak terpenuhi akan menjadi obsesi (obsession) yang mendorong dan memengaruhi pengambilan putusan secara terus-menerus. Obsesi untuk memulihkan sumber daya alam demi generasi yang akan datang adalah obsesi untuk memenuhi tanggung jawab. Obsesi pemulihan lingkungan dan kepercayaan rakyat yang mendalam, dapat menjadi sebuah “api yang tak kunjung padam”, dan menjadi keyakinan yang bisa saja memanfaatkan dan dimanfaatkan berbagai ideologi.
       Ideologi sebagai keyakinan buatan manusia, berpengaruh pada proses pengambilan keputusan. Rangkaian pengambilan keputusan ini mencakup: penentuan problem, penentuan tujuan, cara mencapai tujuan, dan tolok-ukur kemajuan pembangunan. Peserta dan metode pengambilan keputusan, serta tujuan dan manfaat dari suatu keputusan merupakan faktor penentu dalam menerapkan ideologi. Penerapan keyakinan dapat tampak melalui ungkapan “kami” dan “kita” seperti yang pernah dibahas oleh Fuad Hassan. Hal ini bisa menjadi contoh yang mengganjal jika kita menyatakan dengan “Manfaatnya adalah hak kami”. Konsep “kami” dan “kita” berpengaruh dalam dialog antara kelompok dan sewaktu penerapan ideologi. Jadi perbedaan itu mensyaratkan adanya perlakuan yang adil, yang juga merupakan syarat bagi penerapan demokrasi.
       Kegagalan pelaksanaan demokrasi membuat munculnya Terorisme dan Kekerasan. Kekerasan antarkelompok memperlemah Kesatuan dan Penguatan Negara. Hubungan antarkelompok yang kuat mensyaratkan kesamaan karakter bangsa, dan karakter bangsa yang baik dapat menghadapi tekanan global. Globalisasi dapat menghancurkan potensi lingkungan yang ada. Potensi lingkungan tersebut adalah modal bagi generasi masa depan. Pengambilan keputusan yang adil tentunya perlu mempertimbangkan juga generasi masa depan.

Penerapan Ideologi
       Kegagalan untuk memulihkan diri di sekitar 1997-1998 dianggap berasal dari terpusatnya (centralized) pengambilan keputusan, hingga banyak pihak yang merasa diabaikan. Di sini tak ada kesempatan bagi daerah dan rakyatnya untuk ikut menyampaikan gagasannya dan ikut menentukan arah keputusan. Rancangan dan putusan dibuat di pusat, sementara daerah hanya menerima hasilnya saja tanpa bisa ikut aktif dalam pengambilan keputusan. Pengesahan putusan yang dibuat oleh tiga partai di DPR di masa Orde Baru seperti ritus yang semu (empty ritual), tanpa tanya jawab dan koreksi. Bahkan pernah terjadi sebelumnya bahwa, microphone di dalam sidang parlemen hanya ada satu yang bisa (boleh) dipakai. Apakah ada yang salah dengan demokrasi di Indonesia? Dapatkah semua pihak dan perorangan ikut serta di parlemen sementara suatu kenyataan adalah, bahwa di Indonesia ada sebanyak 657 suku bangsa, dan lebih dari 700 bahasa yang semuanya tersebar di 33 provinsi?
       Ideologi dalam sistem budaya adalah sebuah keyakinan yang juga alat pembenaran (justification) dan akses dalam memakai berbagai sumber daya kemasyarakatan (socio-political resources) yang ada. Upaya penerapan pengambilan keputusan yang demokratis yang mengarah pada munculnya Undang-Undang Otonomi Daerah didasarkan pada pemikiran bahwa semua wilayah memiliki hak yang sama, dan dengan kekhasan yang berbeda tidak seperti yang dibayangkan oleh Pusat. Untuk itu dengan otonomi daerah, keputusan di pusat diubah ke tingkat provinsi-kabupaten, dan menyertakan daerah-daerah bagiannya (kecamatan dan desa atau kelurahan). Pemilihan presiden di parlemen oleh partai politik dianggap tidak memuaskan. Pada tahun 2004 dipakailah pemilihan presiden secara langsung. Di sini ideologi demokrasi sebagai bagian dari sistem budaya, seakan-akan menjadi mantra manjur untuk menjawab kegagalan pemulihan ekonomi. Adanya kesempatan bagi semua pihak tanpa aturan yang jelas dapat mengarah pada kekacauan, yang menjadi suatu keadaan yang anarkis.
       Beberapa pembicara pada KML I menyampaikan telaah mengenai Ideologi Demokrasi. Pemakalah pertama, yaitu Jakoeb Oetama membahas ideologi demokrasi dengan ganjalan pola pemikiran yang otokratis dari pengalaman di Amerika Tengah. Pemakalah Kedua, yaitu Achmad Fedyani Saifuddin menyampaikan penentuan program pendidikan yang tidak melihat pada kepentingan penduduk atau komunitas. Pemakalah Ketiga, yaitu PM Laksono membahas strategi menjaga pelaksanaan ideologi demokrasi agar sesuai dengan rohnya, yaitu keterlibatan warga dan kesetaraan.

Terorisme
       Saat implementasi ideologi demokrasi dilanjutkan dengan aturan yang tidak rinci, clash dan terror di berbagai wilayah dan provinsi di Indonesia tetap tidak berkurang. Sifat multicultural dari Republik Indonesia memungkinkan suatu kelompok tidak terwakili. Keadaan ini mengarah pada anggapan terjadinya diskriminasi atau pembedaan pelayanan. Tidak adanya wakil dalam pengambilan keputusan akan tampak sebagai ketidakadilan. Informasi yang tak jelas dapat ditafsirkan sebagai manipulasi, ketegasan pelaksanaan hukum tanpa pengesahan pengadilan tampak sebagai suatu penindasan. Penindasan dan ketidakadilan cenderung mengawali munculnya gagasan baru, yaitu melakukan terror. Jika konflik adalah pertentangan beberapa gagasan, maka clash adalah pertentangan dengan kekerasan yang tampak dari perkelahian hingga pertempuran, lebih jauh lagi terror adalah tindakan kekerasan untuk memengaruhi keputusan dengan menciptakan kecemasan dan ketakutan.
       Pemakalah pada KML II yang membahas mengenai terorisme ada sebanyak 3 orang. Pemakalah pertama yaitu Arsyad Mbai menyampaikan seluk beluk terorisme. Pemakalah kedua membahas perilaku terror yang dapat saja terjadi di setiap pihak yang ada dalam arena konflik. Pihak itu selain pihak yang tertindas dapat juga yang sedang berkuasa dengan mempergunakan “stick and carrot”. Pemakalah ketiga, yaitu Engseng Ho menyajikan jalan  keluar berupa pendekatan di luar kelembagaan formal yang menjembatani pihak-pihak yang terlibat konflik.

Integrasi dan Penguatan Negara
       Teror dan kekerasan, kegagalan pelaksanaan demokrasi mengarah pada munculnya kerapuhan dalam NKRI. Hal ini tak lepas dari pola pemerintahan. Di masa masyarakat agararia, staf kerajaan saat itu adalah abdi penguasa, di masa industri staf pemerintahan adalah abdi negara dan pelayan masyarakat. Kegagalan pelaksanaan tugas pemerintahan sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat dapat mengarah pada kehancuran negara.
       Akibat suatu bentrokan (clash) dapat menjadi kehancuran fisik seperti bangunan (fasilitas umum dan sosial). Kehancuran fisik juga dapat terjadi karena bencana alam. Ada potensi kerapuhan saat pemerintah tidak mampu menciptakan jalinan kerja sama antara berbagai pihak pemangku kepentingan di dalam negara. Penguasa sering mempergunakan sumber daya kemasyarakatan berdasarkan kewilayahan atau kelompok etnis ataupun keagamaan untuk menjalin kerjasama. Namun ada juga orang yang memakai sumber daya kemasyarakatannya untuk kepentingan kelompoknya. Sumber daya kemasyarakatan lain dapat melalui media bahasa dan sejarah kewilayahan memiliki kekhasan historis dan geografis. Pertanyaan lebih jauh lagi adalah bagaimana keanekaragaman kelompok yang memiliki perbedaan latar belakang dapat terintegrasi di Indonesia, seperti misalnya latar belakang Melanesoid dan Mongoloid. Apakah sebuah “penanda” atau “brand” yang perlu dibuat atau, dilakukan pencarian suatu nilai yang sama dari berbagai kelompok etnis yang berbeda dalam adat-istiadat? Bagaimana dengan karakter bangsa jika melihat demikian kompleksnya warga Indonesia?
       Dalam tema Integrasi Nasional dan Penguatan Negara ada sejumlah pembicara. Pembicara pertama, yaitu Juwono Sudarsono menyampaikan mengenai Keadilan Sosial yang menjadi perekat integrasi bangsa dan penguatan negara. Pemakalah kedua, yaitu almarhum Qodri Azizy yang saat itu membahas mengenai pemerintahan dalam sebuah negara yang mengalami perubahan dari abdi penguasa atau kraton, menjadi pelayan masyarakat. Pemakalah ketiga, yaitu Pak Nafi Sangganefa menyajikan mengenai kesulitan dalam integrasi nasional terutama saat mengahadapi ciri-ciri tubuh manusia yang tampak dari kelompok Melanesoid dan Mongoloid. Pemakalah keempat, yaitu Sulaiman Mamar memberikan gagasan mengenai perlunya pendidikan Etika yang dapat menjembatani hubungan antaretnis dalam sebuah bentrokan (clash). Kehancuran fisik karena gempa dapat menjadi kehancuran masyarakat saat daya juang tiap individu menyusut dan hilang. Pertanyaannya mengarah pada pemerintah sebagai abdi negara, yaitu bagaimana mencegah kehancuran. Bagaimana menyampaikan gagasan pemulihan diri serta membangkitkan daya juang yang tinggi. Budi Susanto menyampaikan mengenai fenomena pemasangan spanduk setelah gempa sebagai media komunikasi. Media komunikasi dengan isi ungkapan yang membangkitkan kembali daya juang (fighting spirit) dan memberikan semangat, untuk tetap hidup.

Harapan atas Karakter Bangsa
       Karakter seseorang adalah kecenderungan dalam hubungan dengan orang lain (interpersonal disposition) yang menjadi ciri. Karakter bersama-sama dengan pola organisasi (modes of organization) dan pola perilaku perorangan (behavioral traits) membentuk suatu kepribadian (Philip Bock, 1980). Daya juang atau sikap ngotot dalam menyelesaikan tugas dapat menjadi karakter sekelompok orang. Kumpulan cirri individual ini menjadi karakter suatu bangsa. Gagasan karakter bangsa (national character) muncul dari dasar pemikiran bahwa para warga dari suatu wilayah akan selalu berbagi suatu tradisi sosial. Tradisi kemasyarakatan terlihat dalam pola organisasi yang dianut masyarakat dalam suatu kebudayaan. Penerusan tradisi yang paling nyata tampak pada kehidupan pasangan suami istri dan pengasuhan anak. Tradisi tersebut membentuk kecenderungan dalam tanggapan, seperti pengambilan keputusan, dan pelaksanaan keputusan. Karakter suatu bangsa mencerminkan pola tanggapan atas suatu kasus, putusan dan tindakannya.
       Rian Wynne dan Kerstin Dressel (2001) menyebutkan mengenai perbedaan tanggapan atas penyakit sapi gila (bovine spongiform encepphalophaty=BSE) yang terjadi di industry sapi potong Inggris. Di pihak Inggris kalangan Industriawan sapi-potong, birokrat departemen pertanian dan perdagangan di Ingrris serta para ilmuwannya memiliki kecenderungan berpikir pragmatis, serta bertindak berdasarkan bukti keilmuwan yang empiris. Pihak continental Eropa cenderung pada prinsip ilmu pengetahuan dengan idealisme dan kehati-hatian sudah menentang impor daging sapi dari Inggris walaupun belum terbukti. Dari pihak Inggris baru bertindak setelah ada korban manusia. Dikalangan Eropa tanggapan, putusan dan tindakan dilakukan dengan sadar berdasarkan gagasan yang bertujuan menghindari risiko. Antropolog Philip Bock (1980) saat membahas karakter bangsa menyebutkan bahwa orang Inggris cenderung bertindak mengambil risiko, sedangkan orang-orang Prancis dari daratan Eropa cenderung memikirkan risiko lebih dahulu dan bertindak kemudian. Karakter orang-orang Eropa continental saat ini tak beda jauh dari peribahasa “sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tidak berguna”. Tentu hal ini berbeda dengan karakter Adolf Hitler yang sama dengan seorang bujangan. Adolf Hitler memiliki hubungan interpersonal sebagai bujangan, ia baru menikah dengan Eva Braun beberapa saat menjelang bunuh diri.
         Sikap pantang menyerah mencerminkan daya juang yang tinggi. Daya juang ini dapat menjadi karakter dari sekelompok orang atau bangsa. Gumilar Somantri menyampaikan mengenai pembangunan karakter yang menjadi bagian dalam kepribadian. Kepribadian yang dibutuhkan untuk pemulihan kegiatan Industri, yang berarti juga pemulihan ekonomi. Achmad Fedyani Saifuddin menyebutkan mengenai pembentukan karakter melalui sekolah. Keluarga merupakan saah satu bagian dari pendidikan di luar sekolah, di sini Johz Manzoben memberikan makalah mengenai hubungan kekerabatan yang melampaui batas-batas keluarga hingga menimbulkan potensi yang dapat menggerogoti kepercayaan pada organisasi pemerintah. Selly Riawanty membahas kaum muda dan pendidikan di daerah terisolir, daya juang yang harusnya dimiliki untuk belajar. Meutia Hatta menyebutkan mengenai beberapa sifat manusia yang diharapkan di masa depan sebagai bagian dari kepribadian yang berpengaruh dalam hubungan antara perorangan (intrpersonal relation).

Lingkungan yang Rusak
       Walhi menyatakan bahwa Indonesia mengalami kerusakan lingkungan dengan kehilangan hutan sekitar 3,4 juta hektar per tahun. Informasi lain meneyebutkan bahwa sebanyak 70 juta meter kubik kayu telah ditebang secara illegal. Indonesia sebagai negara dengan sekitar 17ribu pulau, dianggap memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Ada berbagai bentuk ekosistem yang membentang dari daerah pesisir hingga pegunungan. Keadaan perairan lautnya juga memiliki kekhasan dimulai dari daerah permukaan laut hingga palung samudra. Dengan keanekaragaman ini, Indonesia sebenarnya dalah salah satu Taman Firdaus yang memberikan kenyamanan bagi warganya. Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa Taman Firdaus tersebut telah mengalami banyak kehilangan berbagai sumber daya hayatinya.
       Beberapa pihak yang memanfaatkan lingkungan telah memiliki program atau rangkaian rencana kegiatan yang bersifat membantu masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Selain itu, ada juga pemanfaat lain secara historis telah hadir sejak lama dan yang melaksanakan pemanfaatan sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis. Kaidah ekologis tersebut tampak pada pelaksanaan yang berpedoman pada, gagasan daya dukung lingkungan, daya tampung lingkungan, rantai makanan, jaringan makanan, hukum thermodinamika pertama dan kedua.
       Bentuk pemanfaatan lingkungan oleh manusia ada tiga pola. Pertama, pola pemanfaatan dengan proteksi yang ketat akan menolak perubahan; kedua¸ pemanfaatan dengan mengadakan konservasi untuk produksi, ketiga adalah yang mengeksploitasi semaksimal mungkin. Pola pemanfaatan dengan proteksi yang ketat adalah dengan mempertimbangkan seluruh komponen ekosistem yang mendukung proses ekologis, dan yang secara alamiah memberikan hasil secara terus-menerus. Komponen ekosistem yang mendukung adalah tanaman, herbivore, carnivor¸ dan decomposer dan lahan sebagai gudang mineral. Pertimbangan atas berbagai komponen yang mendukung proses ekologis adalah pencerminan dari keadilan ekologis. Keadilan ekologis akan memberikan kesempatan untuk eksis bagi semua komponen ekosistem. Eksistensi populasi suatu spesies dijaga melalui kesempatan untuk pemulihan jumlah populasi hewan tangkapan (ikan, dan kijang) setelah musim berburu. Kesempatan itu diberikan berbentuk larangan berburu atau menangkap ikan untuk waktu yang lama hingga mencapai jumlah yang layak. Pemulihan sendiri ada yang berlangsung dalam beberapa bulan namun ada juga yang berlangsung hingga bertahun-tahun. Salah satu contoh adalah tradisi sassi ikan lompa di kepulauan Harruku di Maluku. Pola pemanfaatan untuk produksi dapat dilihat pada usaha pemerintah melalui PT Perhutani. Pola pemanfaatan semaksimal mungkin umumnya muncul di daerah pertambangan baik yang terbuka maupun tertutup seperti minyak. Pertambangan terbuka dapat mengubah suatu bentang alam.
       Beberapa pembicara telah menyampaikan pemikirannya di dalam KML ke-5 Boedhisantoso menyebutkan mengenai keadaan lingkungan sebagai Taman Firdaus yang belum diubah dan bahkan belum rusak, karena adanya proses ekologis yang berjalan dengan baik. Chalid Muhammad menyampaikan mengenai sejumlah problem yang dihadapi oleh lingkungan di Indonesia hingga tahun 2007. Emil Salim menyampaikan mengenai peran ilmuwan antropologi dalam mengahadapi berbagai problem lingkungan di Indonesia. Lebih jauh lagi ia mengingatkan kembali mengenai kegiatan pembangunan yang membutuhkan antropologi. Noke Kiroyan menyampaikan mengenai peran perusahaan swasta dalam memanfaatkan lingkungan tetapi juga berperan sebagai lembaga filantropi yang mengembangkan masyarakat setempat. Kusnaka menyebutkan kearifan lingkungan yang tampak pada penduduk sekitar Gunung Salak yang mempergunakan sumber daya alam dengan protektif. Lebih jauh lagi adalah Ahmad Santosa yang menyebutkan mengenai posisi Indonesia dalam tolok ukur kesejahteraan dengan mempergunakan Human Development Index, serta mengusulkan sejumlah strategi secara kelembagaan untuk menyelesaikan masalah lingkungan.

Potensi Problema Bagi Indonesia
       Ada beberapa problem di masa depan. Pertama, adalah keterwakilan warga yang tidak memuaskan, dan ini berarti gagalnya penerapan demokrasi. Kedua, adalah, atak ada dialog, dan perwakilan kelompok yang memuaskan, selain itu keterbatasan kelembagaan dalam komunikasi dan negosiasi gagasan untuk membuat keputusan. Pelaksanaan gagasan tanpa pengesahan pengadilan dan sosialisasi dapat mengarah pada kekecewaan yang terpendam. Hal ini dapat mengarah pada terorisme. Ketiga, adalah keterbatasan kelembagaan, dan tak adanya keadilan sosial. Dibutuhkan lembaga yang dapat menjembatani dan menciptakan dialog tanpa terikat birokrasi. Selain itu, keadilan sosial merupakan salah satu hal yang penting dalam integrasi nasioanl dan penguatan negara. Keempat, adalah terbentuknya karakter yang berorientasi individual, pada keuntungan sepihak dan jangka pendek secara dominan. Ada keengganan untuk berusaha, atau berkorban atau berjuang untuk waktu yang lama. Kelima, adalah kerusakan lingkungan yang berarti gagalnya keadilan secara ekologis. Implikasi dari berbagai problem ini adalah perlunya revitalisasi orientasi komunal, bangsa, dan negara yang berarti kesediaan berkorban dan berdialog. Serta perhitungan jangka panjang. Selain itu, suatu tolok ukur yang disepakati dan dapat diapakai memonitor perkembangan. Tolok ukur tersebut dapat bersifat emic dan juga bersifat etic.

II.     Peran Ilmuwan di Masa Depan
       Proyeksi ke depan adalah pendugaan masa depan berdasarkan kenyataan saat ini dan peletakan harapan untuk masa depan. Proyeksi sering diapakai dalam istiah demografi seperti proyeksi kependudukan yang memperkirakan jumlah penduduk dan jumlah satuan keluarganya di masa depan, berdasarkan data demografis saat ini.
       Jika antropologi sangat suka mengkaji sistem kekerabatan, maka kehidupan keluarga sebagai suatu realitas merupakan media untuk mempelajari suatu komunitas. Sebuah keluarga dapat terbentuk dari sebuah kepastian ekonomi. Keluarga saat ini dapat memengaruhi karakter manusia masa depan. Gejala kehidupan keluarga dapat dipakai untuk identifikasi dan antisipasi problem. Problem saat ini dan di masa depan, baik yang ditolerir maupun yang harus dicegah.
       Jika peristiwa pernikahan adalah hal yang menyenagkan, maka peristiwa perceraian adalah hal yang mengecewakan. Pernikahan dan perceraian sering berdasarkan alasan keadaan ekonomi, tetapi juga mandirinya para individu. Pernikahan juga ditunjang dari keadaan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan binaan. Berdasarkan data BPS tahun 2004 sampai dengan 2006 (Indonesia Dalam Angka 2007) ada perubahan frekuensi pernikahan dan perceraian. Frekuensi pernikahan secara konsisten tetap meningkat di sembilan provinsi, yaitu Maluku Utara, Maluku, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Selatan, dan Jambi. Jika pernikahan dilakukan beradasarkan kedaan ekonomi yang baik, maka kualitas kehidupan secara umum adalah baik di sembilan provinsi itu. Peningkatan frekuensi pernikahan dapat dipakai sebagai “penanda” keadaan ekonomi yang baik. Berdasarkan data yang terbatas di tahun 2004 dan 2005, keadaan ekonomi yang baik meyebabkan provinsi Maluku dan Kalimantan Timur mengalami penurunan perceraian. Penurunan tingkat perceraian dapat disebabkan oleh keadaaan ekonomi yang menjadi baik.
       Provinsi yang secara konsisten mengalami penurunan frekuensi pernikahan adalah Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Frekuensi pernikahan yang menurun dapat dianggap sebagai gejala bahwa keadaan lingkungan terus menjadi buruk. Keadaan lingkungan alam yang buruk dapat dilihat dari berkurangnya ekosistem hutan di Kalimantan Tengah, demikian pula adanya kekerasan dan pengangguran dapat juga menyebabkan penurunan tingkat pernikahan di daerah Sulawesi Tengah.
       Harapan di masa depan akan selalu dinyatakan dengan keadaan yang adil dan sejahtera. Ada dua gagasan yang menggambarkan keadaan yang diinginkan tersebut. Pertama, mengutamakan pada masalah keadilan sosial. Kedua, mengarah pada kesejahteraan atau keadaan yang nyaman dari warga yang dapat diukur dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah berdasarkan kualitas kehidupan dari manusia (quality of life) dan kedua adalah indeks perkembangan manusia (human development index).

Keadilan Sosial
       Keadilan sosial sebagai sebuah phrase telah muncul sejak tahun 1945.Frase ini ada dalam Pancasila sebagai dasar negara. Suatu hal yang menari adalah di tahun 1974, John Rawls seorang ahli filsafat hukum menyusun gagasan mengenai prinsip keadilan sosial.
       Sederhananya, prinsip pertama keadilan sosial menyebutkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama. Prinsip kedua mengingat bahwa di dalam suatu kesamaan akan tetap ada perbedaan. Untuk itu perluada akses ke lembaga pengambil keputusan, dan kemudian pengutamaan akses diberikan pada pihak yang paling lemah. Jadi yang paling kuat tidak memonopoli akses ke pengambilan keputusan. Jika prinsip ini diterapkan, maka harus ada lembaga bantuan hukum dan juga kepastian hukum hingga pojok-pojok Indonesia. kepastian tersebut tidak hanya pada pelayanan hukum, tetapi juga pada pelayanan kemasyarakatan sebagai tugas negara.

Kesejahteraan
       Kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity) tampak dari dua tolok ukur. Tolok ukur pertama adalah yang bersifat emic, yang disebut sebagai Kualitas Kehidupan (Quality of Life), kedua adalah yang cenderung bersifat etic dari Indeks perkembangan manusia (Human Development Index).
       Sebagai tolok ukur, Kualitas Kehidupan adalah tingkat kepuasan dan kenyamanan yang diarasakan oleh individu atau kelompok. Kualitas kehidupan terdiri dari dua komponen. Komponen pertama adalah komponen yang bersifat dan kedua adalah yang bersifat psikologis. Aspek psikologis termasuk di dalamnya stress, kecemasan, dan kenikmatan, dan kepuasan atas suatu objek fisik. Objek tersebut antara lain adalah rumah, pol makan, bentang alam, pelayanan kepolisian dan kesehatan. Jadi, semakin tinggi kepuasan atas pola pangan, rumah, dan juga kebebasan serta kesamaan hak, maka kualitas kehidupan semakin meningkat. Lester Milbrath seorang ahli politik menyebutkan mengenai adanya 44 objek (items) Kualitas Lingkungan sebagai Modul yang dapat dipakai untuk memonitor  Kualitas Kehidupan. Objek tersebut berada dalam lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan binaan.
       Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dengan Indeks Perkembangan Manusia (Human Development Index) berusaha untuk mengukur tingkat perkembangan berbagai negara melalui kombinasi dari angka harapan hidup (life expectancy), melek huruf dan angka (literacy), dan pencapaian pendidikan (educational attainment) dan GDP perorangan. HDI diklaim (claimed) sebagai cara baku guna mengukur perkembangan manusia menurut organisasi UNDP. Berdasarkan publikasi 2007 dari data 2005, Indonesia berada pada urutan  ke 107 dalam indeks perkembangan manusia. Keadaan yang berada di bawah Vietnam (dengan posisi 105) dan jauh dibwah negara lain yatiu Filipina dengan posisi 90. Jika melihat pada negara tetangga lain maka Malaysia berada di posisi 63 dan Siangapura berada di posisi 25. Alat ukur ini menilai dari luar potensi individu (opportunities) untuk pengembangandiri berdasarkan pendidikan, pelayanan kesehatan, tingkat pendapatan, pekerjaan, dan harapan hidup, serta melek huruf dan angka.
       Kumpulan tolok ukur HDI bersifat kuantitatif, dan tidak dapat dipakai dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan lingkungan. Hubungan antarmanusia dan manusia dengan lingkungan dapat dilukiskan dalam tolok ukurkualitas kehidupan yang mengukur tingkat kepuasan. HDI belum menggambarkan suatu tingkat kejahatan dan kepastian penyelesaian hukum. Misalnya dari kasus-kasus criminal berapa persen yang diselesaikan, berapa besar masalah sosial yang ada (antara lain narkoba, kekerasan pada anak, perkelahian, kejahatan) di sebuah komunitas.

Karakter Bangsa
       Daya juang merupakan suatu ketahanan fisik dan kejiwaan saat menghadapi tekanan dan hambatan. Di sini perlu juga mempertimbangkan kecerdikan dan kreativitas perorangan saat beradaptasi dengan problem yang harus dihadapi. Dalam hal ini kehidupan keluarga yang rukun serta memiliki perencanaan ke depan terhadap anak-anak penerusnya merupakan hal yang penting. Lebih jauh lagi adalah kesediaan perorangan untuk selalu belajar dan memperbaiki dirinya secara terus-menerus.
       Profesionalisme akan membangun suatu kepercayaan. Di aklangan filsafat, social trust adalah sebuah potensi yang membentuk kekuatan politik. Bagi kalangan sosiologi, social trust adalah  social capital. Dua konsep yang berlainan ini sebenarnya sama dan berfungsi sebagai modal. Bentuknya tampak pada ritme yang sama, pola tanggapan yang pasti dalam mengahadapi suatu problem. Seorang ahli pengelolaan risiko, Roger Kasperson menyebutkan empat persyaratan untuk membangun social trust bagi seorang pimpinan. Pertama, adalah kesungguhan (commitment), kedua, adalah potensi dan kemampuan (competency), ketiga, adalah kepastian bukti pernyataan (predictability), dan terakhir, adalah kepedulian (atau care).

III.      Peran Antropologi Dalam Pembangunan Dan Pengembangan Bangsa 
      Arah pembangunan bangsa, baik dalam rangka pemulihan lingkungan dan keadaan ekonomi yang buruk membutuhkan adanya data menyeluruh. Arah pembangunan tersusun menjadi suatu program. Program sebagai serangkaian (gabungan) rencana kegiatan yang tersusun mennjadi satu (integrated) dengan masukan data dari realitas yang ada di Indonesia. Antropologi bersama ilmu laindapat memberi masukan melalui hasil penelitiannya dalam rangka pembangunan dan pengembangan bangsa Indonesia. Di sini posisi pola penelitiannya pelu disadari.
       Ada beberapa pola penelitian yang telah dilakukan berbagai ilmuwan lain. Pola itu tampak pada konsep Basic-sciebtific research, apllied research, action research, dan interpretative research. Scientific research dilakukan  sesuai dengan prosedur ilmiah yang baku dari ilmu sang peneliti. Peneliti di sini berusaha seobjektif mungkin melaksanakan risetnya, hubungan dengan rekan seilmu atau peer group untuk menjaga dari standar keilmiahannya.
       Saat ilmuwan menerima pesanan penelitian terapan, maka kegiatannya sering disebut sebagai Applied Research. Antropolog E. Chamber menyebutkan bahwa Applied Research dikembangkan untuk menjawab seorang atau beberapa klien dalam pembuatan keputusan. Contoh penelitian terapan lain adalah penerapan ilmu biologi pada pengelolaan hutan beserta populasi hewan yang boleh diburu. L Neumann menyebutkan bahwa penelitian terapan bertujuan untuk mempermudah kerja praktisi. Kita dapat menyebutkan Oppenheimer yang ahli teori fisika atom melakukan penelitian fisika terapan bersama Linus Pauling untuk membuat bom atom sebagai pembunuh massal. Secara sinis  kita dapat menyebutkan bahwa bom atom, mempermudah para prajurit, untuk membunuh musuhnya sebanyak mungkin.
       Action Research juga merupakan penelitian yang menjawab pertanyaan pemesanan dan memberikan solusi untuk problemnya, dan juga menunjukkan cara kerja solusi tersebut. Action research di sini menyelesaikan problem yang khas dan penyelidikannya bersifat demokratis karena dilakukan bersama-sama masyarakat setempat. Tampaknya kegiatan dari dosen arsitektur UGM Romo Mangunwijaya di dalam masalah Kedung Ombo, pengembangan daerah Gunung Kidul dan pantai Selatan bersama masyarakatnya, kegiatan Lembaga Pariwisata UGM yang memberdayakan masyarakat Ketingan di Sleman Yogyakarta dapat diakatakan sebagai action research. Jurusan Antropologi UI pernah melaksanakan usaha pengembangan pestisida local bersama petani di Banten dan pengembangan bibit tanaman baru di Indramayu. Sebuah contoh lain lagi adalah ahli kehutanan Aldo Leopold, saat menjawab masalah kerusakan lingkungan telah membeli sebidang tanah untuk ditanami kembali. Adapun Linus Pauling setelah membuat bom atom kemudian berubah menjadi penentang pembuatan bom atom dengan berdemontrasi. PPSML-UI di tahun 1980-an pernah berusaha menjawab masalah pertumbuhan enceng gondok di beberapa perairan di Indonesia dengan mengembangkan pemanfaatan gulma itu. Action Research selain menandai dan mengembangkan potensi objek penelitian (flora-fauna dan juga masyarakat), juga menciptakan kerja sama baru antara pakar dari keilmuan yang lain. Beberapa ahli mengakui bahwa mereka hanya memfasilitasi berbagai pihak dalam menyelesaikan masalah, contohnya lembaga pariwisata UGM menjembatani masyarakat dengan para ilmuwan di LSM yang relevan.
       Leslie White dalam The Science og Culture (1949) menyebutkan bahwa “science is not a body of data,…it is a technique of interpretation”. Ia melanjutkan bahwa tujuan sains (science) bersama-sama dengan kesenian (art) adalah membedah (to rend) pengalaman secara jelas, dan membantu manusia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan agar bisa tetap hidup. Kedua hal itu (sains dan kesenian) menggenggam realitas yang sama dari sisi yang bersebrangan (opposite side). Conntohnya interpretasi yang dilakukan oleh Rachel Carson atas sejumlah dokumen mengenai akibat pencemaran pada berbagai hewa, yang menghasilkan buku berjudul Silent Spring (1962). Ia diakui sebagai penulis ilmiah yang puitis dalam buku-bukukelautan sebelumnya. Clifford Geertz melalui interpretasi atas berbagai dokumen Hindia Belanda dan menghasilkan buku Agriculture Involution (1963). Pola kerja Clifford Geertz dan Rachel Carson disebut sebagai penelitian interpretative (interpretative research). Kekhasan dari tulisan Carson adalah, data yang dipakai berwujud angka, namun interpretasi dan penulisannya dilakukan dengan bahasa yang memberi kenikmatan, dan menggugah kesadaran. Silent Spring sebagai sebuah buku, menyentak karena dilengkapi data. Buku tersebut menggugah kesadaran akan pencemaran lingkungan, hingga suatu problem “mulai dirasakan” dan tidak hanya “sekadar diketahui”. Ungkapan “sekadar mengetahui,” mencerminkan keadaan “bebas nilai” atau tidak ingin ikut campur. Pola penelitian interpretative dapat dipakai untuk evaluasi, dan cenderung berpihak ke objek penelitian.
       Melihat pada posisi penelitian di atas, saat peneliti masih asyik menginterpretasikan data dan mempergunakan prosedur ilmiah yang sangat ketat, maka sebenarnya ia berada dalam sikap pasif, dengan kata lainia masih berada dalam menara gadingnya. Namun, saat ia menerima pesanan dan bertindak melaksanakan solusi maka ia sudah aktif keluar dari peer group, atau keluar dari menara gading. Suatu intervensi adalah suatu ke-aktif-an pada suatu action research, jika peneliti itu juga memberikan latihan pada objek penelitiannya. Posisi Rachel Carson, Aldo Leopold, Clifford Geertz, Robert Oppenheimer dapat dilihat pada bagian ini. ada beberapa ilmuwan yang dalam perkembangannya mengalami perubahan posisi. Aldo Leopold yang berwal dari Applied Research kemudian bergerak ke Action Research, Oppenheimer dari basic scientific research bergerak ke applied research. Adapun Rachel Carson dan Clifford Geertz yang berawal dari Basic-scientific Research bergerak ke Interpretative Research. Posisi kegiatan penelitian di atas tampak pada bagan di bawah ini.

Kepentingan Luar
Pola kegiatan penelitian dan potensi intervensi
Kepentingan (motivasi) peneliti dan profesinya
Aktif
Pasif
Kepentingan objek penelitian
Action Research (Aldo Leopold, Linus Pauling, Mangunwijaya)
Interpretative Research (Rachel Carson, Clifford Geertz)
Minat pribadi, dan keberpihakan
Kepentingan pemesanan penelitian
Applied Research (Aldo Leopold, R. Oppenheimer, Linus Pauling)
Basic-Scientific Research (Rachel Carson, Clifford Geertz, Robert Oppenheimer)
Persyaratan dan misi ilmiah, ada jarak terhadap objek penelitian

IV. Ilmuwan di Dalam Pembangunan
       Pembangunan dan pengembangan sering disamakan dengan Development. Pengembangan adalah kelanjutan dari yang sudah ada, sedangkan pembangunan berasal dari ketidakhadiran, yang bertujuan untuk mencapai keadaan seperti yang diinginkan. Lucy Mair (1984) menyebutkan bahwa development mengacu pada proses atau gerakan bersama (movement) ke arah keadaan yang seharusnya sudah dicapai seperti bangsa lain. Ungkapannya adalah: “Saya seharusnya sudah berkembang seperti yang lain (dia) saat ini”. “Seperti dia”, berarti ada hal untuk dibandingkan.
       Pembangunan sebagai suatu gagasan sudah diapakai sejak masa penjajahan. Alasan dari penjajahan adalah memperkenalkan dan membangun peradaban pada para manusia di bagian lain dari dunia, selain membentuk koloni dan penguasaan sumber daya. Suatu hal yang menarik, di awal 1900-an muncul gagasan untuk membangun daerah jajahan orang-orang Eropa dengan berbagai alasan. Di Hindia Belanda dilakukan dengan alasan politik Etis, sedangkan di Inggris berlangsung setelah 1930-an dengan mewajibkan koloninya mengajukan proposal pembangunan dan pengembangan wilayah.
       Beberapa pembangunan yang dilakukan pasca Perang Dunia II sudah melibatkan serbagai Antropolog. Ada beberapa tahapan yang secara umum berlangsung di setiap kegiatan pembangunan. Pertama, tahap pra-konstruksi (pre-construction stage). Kedua, tahap konstruksi (construction stage). Ketiga, tahap operasi (stage of operation). Di daerah pertambangan selain ketiga tahap tersebutakan ada tahap pascaoperasi (post-operational stage).
       Pembangunan bendungan Kariba di sungai Zambesi di Zimbabwe telah memindahkan beberapa kelompok etnis yang menetap di tepi sungai Zambesi (Lucy Mair, 1984). Pemindahan tersebut pernah disebut sebagai peristiwa perahu Nabi Nuh yang kedua. Thayer Scudder seorang antropolog dengan timnya menyiapkan masyarakat Gwembe-Tonga yang menetap di tepi Zambesi dan dipindahkan untuk beradaptasi di tempat yang baru, yaitu dataran tinggi Lusitu. Kegiatan yang dilakukan Scuder terfokus untuk menyiapkan penduduk di tahap konstrksi dan operasi dari bendungan Kariba, sehingga saat pemindahan pemukiman (resettlement) sudah ada kesiapan di lokasi baru, baik pada fasilitas umum dan sosial dan juga penunjang kehidupan orang-orang Gwembe dan Tonga. Tahap oprasi adalah saat bendungan Kariba memproduksi listrik yang berarti semua penduduk sudah pindah dan pemukiman aslinya sudah terendam. Saat Scuder melakukan evauasi di pemukiman baru ia menemukan bahwa, ada kampung yang merana tetapi ada juga pemukiman yang senag dan puas. Proses yang dilakukan Scudder tampaknya cukup panjang karena studinya dilakukan sejak tahap prakonstruksi. Ia melakukan serangkaian pola penelitian seperti Interpretative Research dan Basic Research (etnography) serta Applied Research, dan Action Research.
       Sebenarnya seorang ilmuwan sosial dapat berperan di berbagai tahap pembangunan. Peran itu dapat dilakukan di tahap prakonstruksi, hingga tahap operasi dari suatu kegiatan pembangunan. Di daerah pertambangan saat bahan galian akan habis, ilmuwan sosial tersebut menyiapkan masyarakatnya memasuki tahap pascaoperasi, melalui Community Development.
       Peran lain lagi bagi ilmuwan dalam pembangunan adalah turut membuat rencana kebijakan negara baik pada manusianya maupun pada pembangunan fisik. Contohnya, sosiolog Herbert Gans pernah membahas perencanaan kemasyarakatan (social planning), antropolog Clyde Kluckhohn dan Margaret Mead pernah ikut di symposium perencanaan kebijakan bagi masa depan Amerika di tahun 1950-an (John Friedman, 1987)
       Tanggung jawab keilmuwan dari ilmuwan sosial dapat diawali dari hubungannya dengan sesame rekan profesi, tanggung jawab terhadap pemesan penelitian, dan tanggung jawab pada objek penelitian, yaitu informan dan responden. Lebih jauh lagi, sang ilmuwan perlu sadar akan pola pemikirannya (school of thought) serta peta keyakinan lain yang dihadapi saat menjalankan berbagai peran di atas, sekaligus tetap menyampaikan kebenaran. Kesadaran ini membuahkan suatu pemikiran kritis yang memberikan suatu kebebasan dan kesetaraan yang berguna menandai titik temu saat membangun dialog dengan ideologi yang lain.

BAB I
IDEOLOGI DAN KEBUDAYAAN

Pendahuluan Ideologi dan Kebudayaan
Ideologi adalah gagasan dalam kebudayaan yang secara dengan sadar diciptakan dan disusun sebagai pedoman untuk warga suatu negara. Ideologi demokrasi merupakan suatu keyakinan atau pedoman suatu negara yang akhirnya terwujud dalam kebudayaan suatu negara itu sendiri. Dimana setiap warga negara berhak menentukan kebijakan (dengan dibentuk pemerintahan /organisasi). Pada Bab ini penulis berusaha mengungkapkan hasil panel diskusi dari Jakob Oetama mengenai ideologi demokrasi di Indonesia, ia menyampaikan mengenai fenomena sejarah di muka bumi berupa globalisasi yang didukung oleh teknologi informasi, sehingga pada pembahasan ini lingkup pembahasannya itu sendiri tidak akan jauh dari tema tersebut.
Kita bisa saja melakukan demokrasi di negara ini karena tuntutan globalisasi yang didukung dengan Teknologi Informasi yang semakin maju, namun hal tersebut harus diimbangi dengan Kebudayaan yang bersifat progresif artinya suatu kebudayaan itu tidak statis dan diam ditempat. Pernyataan Sosiolog Guatemala yaitu Bernard Arevallo: “We have the hardware of democracy but [also] the software of Authoritarianism”. Maksudanya kita bisa saja mempunyai Hardware yang dalam bentuk undang-undang dan aturan tertulis, namun akan mengalami penyimpangan dalam pelaksanaannya, jika pelakunya memiliki authoritarian software of mind. Ini mengambarkan pola yang terjadi di negara kita, kita bisa saja mempunyai suatu undang-undang yang “seharusnya” dipatuhi. Tapi apa? Pelaksana atau pelakunya itu sendiri dinegara kita terlau banyak yang lebih mementingkan kepentingan individu/ otoritasnya sendiri yang telah tertanam dalam pikirannya.
Pada Sub Kedua di Bab I ini, Ahmad Fedyani membahas mengenai otonomi dan pendidikan dan beberapa kritik mengenai hal tersebut. Ia menganggap bahwa hadirnya suatu otonomi telah diluar ekpetasi untuk menciptakan keadaan yang demokratis. Dilihat dalam UU No. 22 tahun 1999 mengenai otonomi daerah. Menurutnya banyak istilah yang kabur dalam UU tersebut tidak membahas mengenai kebudayaan, dan lebih berorientasi bentuk pendidikannya itu sendiri untuk  mementingkan hasil daripada proses. Dan hilangnya dinamika yang menghubungkan guru, murid, sekolah dengan komunitas setempat. Padahal seperti yang kita tahu kebutuhan masyarakat akan generasi penerus bangsa merupakan hal yang esensial dalam pendidikan itu sendiri.
Dan Pada Sub III Laksono mencoba mengajukan sejumlah langkah yang bertujuan mempertahankan kehidupan yang demokratis. Yaitu berupa, penangkalan atas unsur-unsur antidemokrasi, memperbesar peluang untuk demokrasi serta memberdayakan masyarakat menuju pola yang demokratis.

1.1    Demokrasi dan Kebudayaan

Intelektual Sejati
Prof. Dr. Koentjaraningrat adalah seorang cendekiawan Indonesia. Ia adalah seorang bapak Antropologi yang dimiliki Indonesia. Seorang guru besar Antropologi dan sebagai guru besar masyarakat bangsa Indonesia yang pantas untuk dijadikan panutan. Mungkin sosok yang sebanding dengan almarhum adalah almarhum Prof. Dr. Selo Soemardjan  dan Prof. Dr Sartono Kartodirdjo, dimana yang satu adalah seorang sosiolog terkemuka dan seorang ilmuwan sejarah.
Dampak Globalisasi
Sekilas mengenai sosok dari ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang patut dijadikan panutan. Sekarang kita bahas mengenai tema panel diskusi yang dibahas oleh Jakob Oetama mengenai demokrasi dan kebudayaan.
Seperti yang telah dijelaskan pada pendahuluan bab ini adalah Globalisasi yang ditambah dengan kemajuan Teknologi Informasi yang semakin maju, berimbas pada kebudayaan yang harus progresif pula, tidak hanya diam ditempat. Meskipun dalam hal ini tidak dapat dipungkiri globalisasi menaruh dampak positif didalamnya, semua orang dipenjuru dunia melalui berbagai perangkat Teknologi Informasi yang semakin canggih dapat berhubungan dan berkerjasama satu sama lain. Namun kita tidak bisa menutup mata bahwasanya dampak negatif dari globalisasi itu sendiri nampak di depan mata, tanpa kita sadari atau tidak globalisai mengakibatkan kesenjangan kehidupan warga dunia yang bertambah dan kontras.
Oleh karena itu dalam menahan era globalisasi, kebudayaan sebagai tonggak pertahanan. Sehingga kebudayaan menjadi satu hal yang sangat sentral sifatnya. Kebudayaan itu tidak asal ada saja. Perlu adanya suatu upaya untuk pembangunan kebudayaan itu sendiri. Dimana dalam hal pembangunan kebudayaan itu sendiri sangat berkaitan dengan upaya memperbaiki kemampuan. Kemampuan untuk apa? Yaitu kemampuan untuk bangkit dari kondisi serba krisis dan kritis.
Apabila menela’ah dari apa yang saya baca, ada kalimat mengenai “Culture Matters” yang saya pahami bahwa kebudayaan itu terdiri dari berbagai macam materi atau komponen pendukung didalamnya. Dimana kebudayaan berperan untuk kemajuan beragam bidang kehidupan seperti, ekonomi, sosial, politik, hak asasi dan kemanusiaan.
Prestasi Sebagai Orientasi Kultural
Kemajuan suatu bangsa dapat terukur dari prestasi yang pernah diraih oleh negara itu sendiri. Sedangkan suatu prestasi dapat terlihat dari kemajuan ekonomi itu sendiri. Dan kemajuan ekonomi suatu negara yang menjadi tolok ukur adalah Orientasi Kultural/ Kepahaman kebudayaan dari bangsa itu sendiri. Agar lebih mudah untuk memahaminya saya gambarkan pada alur di bawah ini:

Prestasi
 

Orientasi Kultural
 

Kemajuan Ekonomi
 

dilihat dari
 

dilihat dari
 
                                   
Apabila orientasi kultural disini yang menonjol misalnya korupsi, perlu adanya upaya yang membuat hal tersebut agar tidak terjadi. Artinya penanaman pendidikan disekolah merupakan jawaban dari hal tersebut. Apabila suatu pendidikan ditemapatkan pada posisi dan peranan yang sebenarnya maka hal tersebut dipastikan tidak akan terjadi. Oleh karena itu pada dewasa ini, digalakkan pendidikan karakter di sekolah-sekolah sebagai kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik setelah proses pembelajaran dilakukan.
Kedudukan Indonesia pada tangga korupsi ke-80 dari 85 negara. Karena masih berlakunya kultur feudal untuk kekuasaan, berlakunya afamilisme yang jelek serta masih berlanjutnya praktik kolusi.
Kembali lagi pada “culture matters” perbaikan kemampuan. Dan mengembangkan suatu kebudayaan yang sikap, nilai dan praksisnya membangun kemajuan manusia.



1.2    Kebijakan Otonomi Daerah: Otonomi Pendidikan dalam Perspektif Sosial Budaya
Pendahuluan
Pada Sub Bab kedua di Bab I ini, penulis mengambil dari pembahasan Achmad Fedyani Saifuddin yang membahas mengenai otonomi pendidikan dalam perspektif sosial budaya. Dalam hal ini suatu otonomi adalah suatu kewenangan sehingga apabila diartikan maksudnya adalah suatu kewenangan pada pendidikan yang tentunya dilihat dari perspektif Sosial Budaya.
Telah dibahas pada pendahuluan sebelumnya bahwasanya pada UU No. 22/1999 tentang otonomi pendidikan. Banyak hal-hal yang dikritik di dalamnya berkenaan dengan anggaran dan wujud fisik yang dianggap belum sesuai dan belum adil. Ketika kita bicara otonomi daerah, maka hakikat dasarnya itu sendiri adalah berotonom, berotonom artinya mengembangkan budaya demokrasi. Dimana otonomi sebagai kebudayaan.
Perspektif Sosial Budaya dalam memandang otonomisasi daerah ini sebagai proses pengembangan budaya demokrasi. Namun banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelumnya yang akan dijelaskan di bawah ini.
Pertimbangan Sosial-Budaya Dalam Otonomi Daerah
Beberapa Catatan Mengenai Pasal-pasal
Undang-undang No.22/1999 mengenai otonomi daerah yang akan dibahas disini. Dimana perwujudan dari undang-undang ini seharusnya dapat dirasakan oleh kita sebagai masyarakat untuk mecapai budaya demokrasi. Pasal 14 dalam Bab V mengenai “Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah”
‘Di daerah dibentuk (italic, oleh penyusun usulan ini) DPRD sebagai Badan  Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.
Kata dibentuk itu yang perlu dikritisi, bahwasanya pada bagian awal UU pada paragraf ‘Mengingat’ menyinggung UU No. 4 Tahun 1999 dalam pasal 18 menetapkan bahwa 90% anggota DPRD berasal dari anggota partai politik hasil Pemili, dan 10% dari anggota ABRI yang diangkat. UU No. 4/1999 menganggap bahwa DPRD sebagai lembaga sudah ‘terbentuk’.
Jadi yang ingin dimaksud penulis disini ialah, bagaimana kita menyadari bahwa sebenarnya otonomi daerah itu sendiri ‘dibentuk’ atau ‘terbentuk’? sehingga akan tampak jelas bedanya antar dibentuk dan dipilih.
Menunjuk pada masalah pokok dalam meinterpretasikan UU No.22/1999 diatas, maka sebenarnya bisa kita sadari kalau kekuasaan yang dimiliki DPRD dan Pemerintah Daerah sekarang dalam posisi yang seperti apa? Karena dari apa yang saya baca pada bahasan ini, penulis ingin kita menyadari bahwasanya pasal tersebut memberikan keraguan tentang kekuasaan apa yang sesungguhnya diberikan kepada DPRD, DPRD membutuhkan Kepala Daerah dalam pengambilan keputusan dan Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, ini menjadi bertentang ketika kita berbicara demokrasi dan otonomi daerah. Jadi keadaan ini sebenarnya tidak relevan dengan Pasal 16 yang menyebutkan bahwa kedudukan mereka adalah sama/sejajar dan merupakan kemitraan.
Contoh isu diatas merupakan contoh yang disajikan oleh penulis bahwa ada suatu yang harus kita kritisi dalam pembentukan otonomi daerah itu sendiri. Jangan hanya saja kita berbicara bahwa kita berotonom namun pada pelaksanaannya tidak ada perwujudan menuju arah otonom itu sendiri.
Sebenarnya ada tiga pokok bahasan sebagai lanjutan dari pembahasan di atas yaitu mengenai Dimensi Kebudayaan yang Terabaikan, Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, dan Kebudayaan Sebagai Transmisi Pengetahuan.
Namun disini saya tidak memaparkan satu-satu seperti sebelumnya diatas saya akan langsung memaparkan ketiga tema tersebut dari apa saya pahami dari bahasan tersebut.
Pada dewasa ini, dimensi kebudayaan memang telah terabaikan. Mengapa? Karena aspek kebudayaan yang merupakan inti demokrasi apabila jika kita kaitkan dengan pembahasan sebelumnya tidak ada dalam pasal tersebut di atas/terabaikan tadi. Karena apa?karena mungkin para perancang dan pendiskisi UU dangkalnya pengetahuan mereka dan wawasannya. Dan mungkin juga ada persoalan kemampuan berbahasa yang kurang antara ‘dibentuk’ (bukan ‘dipilih’). Kebudayaan masih terabaikan juga karena dalam UU tersebut aspek seremonial pengangkatan pejabat daerah lebih ditonjolkan. Terbukti dengan dimuatnya secara rinci dan lengkap isi sumpah/janji yang harus diucapkan oleh Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan Lurah. Namun hal yang memang substansial malah diabaikan. Padahal yang seperti kita lihat dari sekian banyak pejabat yang sudah berikrar janji/ melakukan sumpah, namun tetap saja melakukan hal-hal yang melanggar aturan.
Begitu pula pada Pendidikan dalam Otonomi Daerah. Dalam hal ini penulis bermaksud menjelaskan cara pandang dalam cara pandang sosial budaya mengenai pendidikan dalam otonomi daerah itu sendiri. Perspektif Sosial Budaya memandang pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan secara sistematik, tidak dapat dipahami secara terpisah dari transmisi total sosialisasi/ enkulturasi (Hansen, 1979; Singleton, 1973). Artinya apabila ditela’ah menurut saya penggambaran ini memandang sebagai sebuah sistem yang dipandang secara komprehensif.

Dua Perspektif
Secara sistemik yang dimaksud di atas ialah bahwa pendidikan dilihat perpektif sistemik ini dibagi menjadi dua tahap perkembangan, yaitu perspektif structural fungsionalisme, dan prosesual. Apabila disajikan dalam bagan, pembahasan ini menjadi seperti di bawah ini;

Pendidikan
 

dari
 

Pemikiran Eropa Abad ke 18 dan 19
 
           

Pendidikan Kolonial Hindia Belanda
 

yang terpengaruh
 

menjadi
 

Pendidikan Masa Kini
 
                              




Yang dimaksud bagan diatas adalah bahwa sistem pendidikan di atas adalah yang dimaksud berpikir structural-fungsional.

Pendidikan
 
Pendidikan merupakan sebagai komponen dari sistem yang besar sehingga pendidikan hanya bagian kecil yang ada dari komponen-komponen lainnya
            Sedangkan Perpektif Prosesual menekankan perspektif sebagai sitem. Namun lebih menekankan bahwa sebagai sentral, manusia sebagai objek yang menjadikan lingkungan sebagai tempat bertindak.
            Jadi perbedaan dan perubahan yang dimaksud adalah dalam perspektif Struktur Fungsionalisme, manusia sebagai objek dimana ia beradaptasi untuk masuk ke dalam sistem. Berbeda halnya dalam perspektif Prosesual yang menginginkan manusia berinteraksi dengan lingkungannya agar dapat merubah sistem tersebut menjadi lebih baik.
            Sistem pendidikan kita yang seragam dan berorientasi ke bawah maksudnya disini ialah institusi pendidikan yang ada dilaksanakan oleh pemerinatah, segala perncanaan program pendidikan sampai kompetensi lulusan ditentukan menurut kebijakan pemerintah. Pada seharusnya kebutuhan riil yang meman dibutuhkan dalam masyarakat yang seharusnya menjadi tolok ukur tipe lulusan yang seharusnya dihasilkan dalam suatu satuan pendidikan. Artinya selama ini masyarakat dianggap  bukan merupakan atau mempunyai hal yang esensial dalam satu sistem yang berkaitan dengan sekolah.
            Kesimpulannya pada bab ini dengan sub bab ke 2 di Bab 1 ini, penulis ingin menyampaikan bahwasanya, dengan adanya kebijakan otonomi daerah maka seahrusnya tidak ada jurang pemisah antara masyarakat dengan sekolah. Dimana sekolah dan masyarakat ditempatkan dalam satu wadah yang tak terpisahkan satu sama lain. Sekolah sebagai mitra dengan masyarakat. Dimana nantinya apabila pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan mayarakat, maka akan berimbas apada komptensi lulusan yang dihasilkan dan nantinya dibutuhkan dalam masyarakat untuk menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran lokal maupun regional. Dan perubahan pola pikir juga sangat mempengaruhi pada pola pendidikan di Indonesia ini, memang tidak mudah dilakukan namun setidaknya gagasan menuju perubahan paradigma pendidikan tersebut dibicarakan.

1.3    Rujukan Lembaga-lembaga Demokrasi Dalam Ranah Komunitas Lokal
Pendahuluan
            Sub Bab yang ketiga ini mengenai  bagaimana peranan lembaga-lembaga komunitas lokal dalam menjalankan demokrasi itu sendiri. Karena dalam buku ini kita banyak memandang dari sudut antropologi atau mementingkan kebudayaannya itu sendiri. Sehingga antropologi itu sendiri member sudut pandang berobsesi untuk memahami lian, yaitu memahami orang yang berbeda dari dirinya sendiri untuk mengenali dirinya secara lebih tajam. Lalu sekarang bagaimana kita memahami dari lembaga-lembaga demokrasi yang ada dari sudut pandang antropologi?
Kondisionalitas Lembaga-Lembaga Demokrasi
            Dewasa ini di negara ini khususnya segala urusan yang ada mengatasnamakan demokrasi, demokrasi siartikan sebagai setiap orang mempunyai kesempatan atau persamaan kondisi. Demokrasi tumbuh dari masyarakat Eropa yang ingin melepaskan diri dari pemerintahan eropa itu sendiri yang aristokrasi. Sehingga terjadilah demokrasi yang terbentuk dan ada di Amerika seperti sekarang. Lemabaga-lembaga demokrasi yang ada sekarang kebanyakan menyalahgunakan demokrasi yang ada, oleh karena itu untuk mewujudkan lembaga-lembaga demokrasi yang baik, dan untuk melindungi demokrasi itu sendiri, maka hukum harus diatas segala-salanya dalam urusan tata negara.. Idealnya, negara demokratis seharusnya memiliki hakim dan sistem pengadilan yang independen dan sekaligus politikus yang baik.

Ranah Komunitas Lokal
            Apabila kita memandang dari perspektif budaya, Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaannya itu sendiri, tidak dapat dipungkiri Indonesia mempunyai beragam suku, bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di Indonesia itu sendiri masih ada saja masyarakat yang pada kenyataannya masih mempertahankan tradisi kesukuan yang masih mengembara di hutan-hutan. Berbeda halnya ketika mencontohkan dengan kehidupan kota yang serba modern. Ini artinya terjadi disintegrasi sosial di dalamnya. Dimana yang terjadi adalah para elitenya “mengeksploitasi” apa yang ada agar menjadi miliknya dan mencapai tujuan yang diinginkannya.

Mediasi
            Untuk menyamaratakan demokrasi dengan berbagai macam komunitas lokal yang ada, maka perlu adanya suatu mediasi. Sehingga dalam hal ini diperlukan lembaga-lembaga mediasi agar prinsip-prinsip demokrasi dapat dikomunikasikan secara transparan dan dipraktikkan secara bertanggung jawab. Dengan demikian seharusnya disini agar masyarakat merasaa bahwa negara ini demokrasi maka sistem ekonomi harus terbuka, tidak ada penggelembungan harga serta korupsi yang semakin meningkat. Rakyat harus berperan serta sebagai pelaku ekonomi dan ikut menemukan sistem ekonomi yang jujur.
Langkah-langkah agar demokrasi tidak macet
1.      Hambatan:
§  Korupsi terus berlanjut sampai akhirnya, yang menjadi penghambat dari demokrasi itu sendiri.
§  Partai politik dan wakil-wakil rakyat yang gagal menjadi mediator yang baik untuk “rakyatnya” yang “memilih”.
§  Proses Desentralisasi atau pemusatan yang disalahgunakan oleh orang yang lebih berkuasa.
§  Lembaga hukum dan pengadilan yang menjalankan pemaksaan hukum
2.      Peluang
§  Desentralisasi harus menjadi alat demokrasi yang baik, untuk masyarakat bersana daerahnya agar meningkatkan demokrasi itu sendiri.
§  Demokrasi disadari dan mengakar pada masyarakat dan kebudayaan masyarakat
3.      Tindakan yang diperkuat
§  Pendekatan antropologi budaya dalam masyarakat yang mengajarkan agar masyarakat tidak mengenal jalan pintas dan sadar akan pemikiran yang holistic/menyeluruh
§  Fasilitasi rakyat membangun identitasnya secara demokrastis











BAB II
TERORISME DAN KEBUDAYAAN

2.1    Terorisme dan Kebijakan Penanganannya
Pada Bab II ini, penulis membahas mengenai seluk beluk dari terorisme, apa yang kita ketahui mengenai terorisme? Yang kita tahu kalau seorang Amrozi atau Azhari adalah teroris. Itu berarti terorisme itu sendiri merupakan kumpulan atau serangkaian tindakan kekerasan yang dipergunakan orang-orang untuk membangun suatu pola hidup di lingkungannya. Yang kebanyakan dari teroris ini mengatasnamakan agama dalam melakukan tindakannya.
Karakteristik Psikologi Teroris
Ketika seorang teroris menganggap bahwa cara damai tidak bisa ditempuh untuk melakukan perubahan yang mereka inginkan maka mereka akan menempuhnya dengan kekerasan untuk tujuannnya dapat tercapai.
Kebijakan Interasional
Untuk pemberantasan dari terorisme itu sendiri dalam kebijakan internasional disepakati bahwa negara satu dengan negara lainnya bekerja sama untuk perang melawan terorisme itu sendiri.
Kebijakan di Indonesia
Di Indonesia para pelaku teroris mendapatkan hukuman yang memang ada dalam aturan UU. Dan untuk upaya pencegahannya itu sendiri mengungkap jaringan-jaringan teroris, mencegah masuknya bahan-bahan peledak serta senjata, dan menutup akses penjualan barang-barang tersebut.
2.2    Dimensi Internasional Terorisme
Pandangan Hitam Putih AS
Semenjak terjadi pemboman tanggal 11 September AS pada gedung kembar WTC New York merubah pemikiran mereka dan merealisasikan doktrin “preemptive strike” jadi apapun yang menjadi ancaman bagi AS dan mengganggu keamanan negara mereka, maka mereka akan menghancurkan terlebih dahulu “either you’re with us or with the terrorist” dari pernyataan Bush. Oleh karena itu pemikiran mereka bahwa siapapun yang tidak mendukung “anti demokrasi” menyiratkan bahwa mereka adalah musuh  AS.

Ambiguitas Definisi Terorisme
Sebenarnya belum ada kesepakatan mengenai arti terorisme yang sebenarnya. Banyak istilah seperti “fundamentalisme”, “radikalisme”, dan “militanisme” yang umumnya dipopulerkan oleh para pakar dan media massa tanpa berusaha mencari makna sebenarnya dari istilah-istilah tersebut. Namun apabila terorisme dikatakan sebagai aksi kekerasan untuk mencapai suatu tujuan yang seperti saya sebutkan diatas, maka apa bedanya teroris dengan para aksi militer. Sehingga sampai saat ini belum ada rumusan yang jelas dan objektif tentang istilah “terorisme”. PBB pun belum berhasil membuat definisi tentang terorisme.

Dampak 9/11
Kejadian tersebut tidak hanya membuat AS merubah pola pemikirannya. Namun memunculkan dua fenomena yang lainnya. Pertama, meningkatkan ketegangan antara AS dengan dunia islam yang dianggap sebagai teroris. Mereka tidak memedulikan prinsip-prisip HAM dan demokrasi yang selama ini mereka junjung tinggi, serta keadilan, hukum internasional, dan etika pergaulan antar bangsa. Bukan merupakan hal yang tidak mungkin apabila nantinya Indonesia menjadi sasaran terorisme apabila AS menganggap Indonesia tidak serius menjalankan “perang melawan anti terorisme” yang jika diartikan harus dibaca sebagai “perang melawan kaum muslim fundamentalis”. Dan untuk mengharapkan bantuan PBB menjadi suatu yang sia-sia. Karena dilihat dari perang sekarang antara AS melawan Irak atau Afghanistan. PBB tidak mampu mencegah apa yang dilakukan AS. Negara Adikuasa atau superpower bisa saja dikuasai oleh mereka namun kejayaan hegemoni tidak akan abadi. Negara yang memegang hegemoni harus menanggung beban biaya, militer, politik, ekonomi dari keadidayaannya dalam rangka mempertahankan hegemoninya. Namun untuk membuktikan teori ini yangb akan mengakibatkan runruhnya AS maih dipertanyakan. Karena secara de facto AS masih merupakan negara terkuat di dunia, baik dari segi militer maupun ekonominya. Hampir tidk ada negara yang tidak tergantung pada AS, atau terbebas dari pengaruh kebijakannya.

State Terrorism dan Stigma Fundamentalisme
Apa perbedaan antara kaum fundamentalis dengan teroris?dan mengapa muslim seringkali diidentikan dengan teroris atau islam dengan teroris? Peristiwa peledakan bom di Bali disinyalir merupakan bagian dari skenario besar perang melawan terorisme yang dijalankan Bush. Tidak aneh dalam hitungan jam pemerintah Australia bisa memastikan bahwa yang melakukan pemboman di Bali merupakan kelompok Jamaah Islamiyah yang merupakan jaringan Al-Qaeda. Ketika AS sudah menyebut Al-Qaeda, dan Australia menyebut Jamaah Islamiyah, maka cepat atau lambat yang lain akan mengikutinya bagaikan koor paduan suara. Jadi, terserah kita apakah kita percaya atau tidak pada teori konspirasi. SEorang mantan menteri di Jerman berpendapat bahwa apa yang dilakukan Bush telah diluar dari HAM dan demokrasi yang ada pada AS, begitupun dikatakan mantan Presiden AS Jimmy Carter. Sehingga reputasi AS sebagai yang terbaik dalam soal HAM dan demokrasi pun terancam pudar.
Umat Islam disudutkan dari berbagai stigma bahwa semua teroris yang ada sekarang berasal dari umat Islam. Padahal banyak teroris seperti Aum Shinrikyo di Jepang, kelompok Basque di Spanyol, Kahane Chai di Israel, dan kelompok “American Militant Extermists” di AS sendiri. Seharusnya kita beranggapan saja bahwa terorisme adalah suatu tindakan kekerasan bermotif politik yang menjadikan warga sipil sebagai korban utamanya,” oleh sebab itu pada hakikatnya terorisme ada di hampir semua negara, bangsa, dan (kelompok) agama.

“Clash of Civilizations” Sebagai Pembenaran
Disinformasi yang menyudutkan umat Islam mengenai terorisme, sebagai senjata untuk melancarkan perang terhadap Dunia Islam dengan dimunculkannyaisu terorisme yang dapat digunakan sebagai alasan mengobrak-abrik dan memporak-porandakan negara-negara muslim. Dapat dibuktikan dari pemboman di AS pada 11 september yang langsung dituduhkan pada jaringan Al-Qaeda dan Osama bin laden, padahal kebenaran atas tuduhan tersebut masih diragukan bahkan oleh berbagai kalangan di AS sendiri.
Kebanyakan teror disalah artikan sekarang ini, dimana sebagai tindakan yang dilakukan si kuat kepada si lemah, namun hal ini menjadi berubah maknanya ketika terror dikatakan tindak kekerasan yang dilakukan si lemah terhadap si kuat. Ironisnya, perilku kekerasan yang dilakukan si kuat terhadap si lemah, jauh lebih biadab, justru tidak disebut sebagai terorisme.

2.3    Perang di Luar Kedaulatan (Sovereignty), Perdamaian di Luar Perwakilan (Representation)

Apakah mungkin bagi Amerika Serikat untuk melakukan perjanjian perdamaian dengan Al-Qaeda atau Osama bin Laden? Tidak mungkin, demikian menurut pendapat umum. Tapi mengapa tidak? Apakah ini dikarenakan tidak adanya bahasa yang sama? Tidak ada rasa perikemanusiaan yang sama? Ketika negara bertindak di luar batas kedaulatan (sovereignty), maka pihak di luar negara (bukan-negara) pun bertindak di luar batas perwakilan politik (representation). Pertunjukan para teroris adalah penanda terbuka yang terletak di luar kontrol demokrasi, representasi media yang marak, yang membangkitkan pengikut baru yang tak terduga. Manakala retorika terus digerakkan, bisakah masyarakat menuntut perdamaian-baik di dalam maupun di luar-batas-batas kedaulatan?[1]

Asimetri yang Intim dan Aneh
Dalam pertikaian antara AS dengan jaringan Al-Qaeda ini terdapat asimetri yang aneh tapi intim. Keluarga Bush dan bin Laden adalah rekan bisnis selama dua generasi, dan saling berkunjung ke Saudi dan Texas. Mereka berkolaborasi melawan Soviet di Afghanistan. Sekarang mereka bicara satu sama lain dengan saling melempar bom. Menambah retak yang semakin dalam krisis pembenturan peradaban.bagaimana retorika seperti ini digerakkan? Dari ranah pribadi masuk ke dalam ranah peradaban?[2]
Apa yang terjadi?akhirnya pertarungan dipertaruhkan tanpa kedaulatan yang jelas? Tidak bisakah semua konflik yang ada dibicarakan dengan baik. Karena jika terus berlanjut akan semakin banyak korban yang berjatuhan. Apakah mustahil apabila dilakukan perjanjian perdamaian?


Seakan Perang Sabil Baru
Perang Sabil adalah sebuah upaya politik, di mana Paus ingin menciptakan kedaulatan baru di luar wilayah kekuasaan yang telah ada. Maka dibuatlah gagasan Christendom, dan gerakan politik lewat ziarah massal ke Tanah Suci-dengan disertai persenjataan. Penulis mencontohkan dengan Perang Sabil karena Perang Sabil itu sendiri memberikan contoh bagaimana retorika dapat digerakkan sedemikian rupa, dengan begitu cepat.




                                                             





















BAB III
PENGUATAN NEGARA, INTEGRASI NASIONAL DAN KEBUDAYAAN

Pendahuluan
Setelah membahas mengenai Ideologi dan Kebudayaan pada Bab I dan Terorisme dan Kebudayaan pada Bab II. Pada Bab III ini berisi mengenai Penguatan Negara, Internasional dan Kebudayaan. Apabila kita cermati sebenarnya penyajian bahan oleh penulis sangat sistematis. Antara satu bab dengan bab yang lain saling berkaitan dan berhubungan. Apabila kita pada bab I membicarakan mengenai Ideologi dan kebudayaan dimana yang pada intinya suatu ideologi demokrasi yang kita terapkan sekarang ini tidak terlaksana dengan baik maka tentu akan terjadi konflik (pertentangan gagasan) yang akhirnya memunculkan tindakan terorisme itu sendiri (pada bab II), oleh karena itu perlu adanya suatu pengutan negara atau keterpaduan nasional secara bersama-sama untuk membangun negara ini menjadi lebih baik.
Lingkup bahasan mengenai bab ini meliputi penguatan negara yang mengacu pada penguatan internal negara atau institusional lokal. Sulaiman Mamar disini menyampaikan konflik di Poso yang terjadi antara kelompok agama dengan latar belakang masalah politik dalam memperoleh kekuasaan di daerah. Mamar mengatakan pentingnya mempraktikkan prinsip umum untuk menjembatani pihak yang berkonflik dengan 5 S atau senyum, salam, sopan santun, dan sabar.
Qodri Azizy mengkritik pelaksanaan pemerintahan yang dapat menjadi suatu pelaksanaan kekerasan oleh pemerintahan. Ia menyebutkan bahwa Ernest Gellner memakai definisi Max Weber untuk menyebutkan negara sebagai lembaga modern atau badan yang memiliki monopoli kekerasan yang dilegitimasi. Gellner juga menyebutkan bahwa manusia telah melalui tiga tahap kebudayaan dalam sejarah, yaitu masyarakat pra-agraris (pre-agrarian), masyarakat agraris (the agrarian), dan masyarakat industri. Qodri Azizy mengajukan suatu perekat untuk integrasi. Perekat tampak pada dua hal:


1.    Perlu nilai dan esensi kepentingan serta tujuan bersama. Hal ini dapat ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, Visi Indonesia dalam Tap MPR, simbol bersama (Garuda Pancasila dan Merah Putih) sebagai Cultural branding
2.    Selain itu perlu menerima kenyataan hadirnya pluralism budaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk itu perlu menjaga nilai-nilai budaya yang sensitive (menghormatinya), member manfaat dalam perubahan budaya.
Dan pada Bab ini juga akan sangat berkaitan erat bagaimana Indonesia dapat menghadapi Globalisasi?

3.1    Penguatan Negara dan Integrasi Nasional

Kembali ke Pertahanan Rakyat Semesta
            Sistem pertahanan rakyat semesta ada pada pasal 30, yang paling krusial dalam hal ini adalah manusianya itu sendiri sebagai sumber utama pertahanan militer dan non-militer. Kapal, tank dan lainnya adalah sumber pertahanan fisik. Non militer adalah swadaya alam manusia, alam buatan yang dibuat manusia untuk pertahanan itu sendiri. Tidak hanya bisa mengandalkan kekuatan fisik saja namun knowledge kita harus dibangun. Apabila dikutip dari buku ada pernyataan “defence of knowledge”. Artinya pengetahuan kita terhadap sains dan teknologi sekarang yang dijadikan senjata untuk pertahanan kita sendiri. Dan yang paling penting tentunya yaitu, penguatan nilai-nilai budaya sebagai pondasi pertahanan yang paling penting.

Keanekaragaman Budaya untuk Modal Pertahanan
            Presiden Soekarno penah mengatakan bahwa kekuatan Indonesia adalah keragaman budaya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, didalamnya banyak suku-suku atau budaya yang menjadi ciri khas daerahnya masing-masing namun tetap mempersatukan Indonesia. Keindonesiaan tidak mematikan kesukuan. Malah kesukuan memperkuat kesatuan Indonesia.
            Dalam ilmu pertahanan ada teori, di mana pertahanan dilihat dari sejumlah pesawat, tank, dan sebagainya. Namun, pertahanan yang bagus adalah keadilan sosial. Jika berbicara mengenai pembangunan bangsa, maka yang lebih tepat adalah pengembangan pendekatan multikultur. Pendekatan ini perlu ditanamkan di Indonesia. Dimana ketika keragaman budaya ini kita manfaatkan sebagai alat pemersatu bangsa maka, menurut penulis akan kuat negara ini dalam pembangunan pertahanannya.

3.2    Integrasi Nasional dan Penguatan Negara dalam Perspektif Antropologi, Kasus Papua

Indonesia, de Facto dan de Jure
Deklarasi Sumpah Pemuda merupakan saksi dari perjuangan Indonesia sebagai penguatan negara dan integrasi nasional. komitmen para pemuda pemudi dalam ikrarnya “bahasa, bangsa, satu tanah air Indonesia”. Di abad 20, perkembangan teknologi yang semakin canggih tentu akan membawa perubahan pada kehidupan di dunia. Maka akan terjadi globalisasi didalamnya, akan terjadi transformasi budaya dalam aspek kehidupan manusia. Suatu ketahanan /penguatan negara sangat dibutuhkan demi memfilter arus globalisasi tersebut. Pelestarian nilai buudaya dalam masyarakat sangat membantu dalam upaya ini. Secara bersama-sama mengikat tali persaudaraan yang kuat demi terciptanya persatuan.

Integrasi Nasional dan Penguatan Negara
            Integrasi apabila dalam bahasa politik dikatakan sebagai penyatuan berbagai sistem politik, budaya, sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional. Sedangkan integrasi sosial adalah pembauran dari kelompok masyarakat dimana mereka menghapuskan perbedaan dan jati dirinya masing-masing. Dan integrasi kebudayaan itu sendiri adalah penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan menjadi beberapa unsur-unsur kebudayaan dengan cara difusi (unsur-unsur kebudayaan baru diserap ke dalam suatu kebudayaan).
            Menurut Profesor Koentjaraningrat (1982:35) ketika kita megulas untuk bagaimana usaha untuk mempersatukan penduduk Indonesia yang beraneka ragam budaya menajadi suatu kesatuan yang utuh, maka ada 4 masalah pokok, yaitu: (1) masalah mempersatuka aneka warna suku bangsa; (2) masalah hubungan antaragama; (3) masalah hubungan mayoritas-minoritas; (4) masalah integrasi kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya dan Timor-Timur dengan kebudayaan di Indonesia.[3]
            Penguatan Negara dan Integrasi Nasiona disini difokuskan pada institusi nasional, lokal dimana yang berperan sebagai penanaman nilai-nilai budaya agar kita sendiri mempunyai pondasi yang kuat saat globalisasi yang terus berjalan.

Integrasi Nasional dan Penguatan Negara: Kasus di Papua
            Dalam hal ini penulis lebih menekannkan dari aspek antropologi bukan dalam hal asppek politik, dalam membahas integrasi nasional dan penguatan negara sehinga perpektif yang ada akan lebih memandang aspek kebudayaan.

Masalah Integrasi Kebudayaan Irian (Papua)
            Pada saat awal Papua terlepas dari Belanda, pada saat itu integrasi kebudayaan masih belum tercapai, sehingga ditakutkan aka nada jurang pemisah antara masyarakat Papua dengan masyarakat Indonesia lainnya. Menurut Koentjaraningrat untuk dapat menggambarkan persoalan-persoalan integrasi kebudayaan di Papua, akan diambil ilustrasi dari Koentjaraningrat:
            “….Mereka mencurigai orang Indonesia lainnya. Mereka benci akan sikap sok tahu dari orang Indonesia lainnya. Mereka suka mengejek, sikap sok hebat dari orang Indonesia lainnya…”
            Penyataan diatas mengisyaratkan bahwa orang Papua pada waktu itu belum bisa menerima pihak luar yang belum dikenalnya. Mungkin karena masih tertanam Propoganda Belanda yang sudah melekat pada mereka. Namun dijelaskan pada buku ini bahwa semakin lama masyarakat Papua juga bisa menesuaikan dengan masyarakat Indonesia lainnya.




Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejauh mana integrasi kebudayaan tersebut terjadi di Papua?
            Menurut Koentjaraningrat dari penelitiannya bahwa integrasi di Papua sudah tercapai, dalam arti Papua telah menjadi bagian integral dari negara Indonesia, namun dalam hal integrasi kebudayaan, hal ini belum mencapai pencapaian yang diinginkan, meskipun dalam hal integrasi politik sudah tercapai, namun dari integrasi budaya itu sendiri yang lebih penting. Stigma orang luar terhadap Papua kebanyakan mengatakan bahwa mereka masih dikatakan sebagai orang primitive dan hidup dalam kebudayaan batu. Namun pernyataan tersebut sebenarnya keliru apabila telah melihat keadaan masyarakatnya itu sendiri secara langsung. Ketidaktahuan pihak luar akan kebudayaan yang Papua miliki dewasa ini mengisyaratkan bahwa adanya integrasi kebudayaan, berarti ketidaktahuan akan kebudayaan yang sebenarnya ada disekitar kita. Hal ini perlu diperhatikan bahwa ketika kita kurang menghargai kebudayaan orang lain, maka integrasi kebbudayaan itu sendiri akan sulit tercapai.
            Budaya Melanesia, kesadaran mengenai streotip di Indonesia dengan cirri-ciri ras Melanosoid dan Mongoloid menurut Koentjaraningrat kedua tip eras tersebut sebagai kekayaan dalam kehidupan bangsa, sehingga perlu adanya ruang agar dapat diterima sebagai keseluruhan kebudayaan nasional, karena dengan begitu akan mengurangi pemikiran orang Papua terhadap integrasi kebudayaan.
            Dalam bahasan ini, yang membuat saya tersadar dari kata penulis adalah, menurutnya selama ini yang kita tahu orang Papua kebudayaannya masih seperti 50 tahun lalu, memakai koteka dan tertinggal (begitupun pemikiran saya). Namun katanya, pandangan tersebut mungkin benar, karena bagi orang awam seperti saya yang hanya melihat Papua melalui foto akan beranggapan seperti demikian, namun apabila orang yang telah menginjak langsung tanah Papua. Bahwa yang terjadi adalah mereka telah mengalami perubahan maupun dalam hal berbusana, maupun sistem teknologi.
            Ini menjadi cambukan keras bagi saya bahkan perubahan ppola pikir bahwasanya ketika kita masih beragumentasi mengenai Papua seperti halnya diatas, maka tanpa disadari kita telah merendahkan budaya lokal. Sehingga paham saya sekarang setidaknya setelah membaca bahasan ini, mengubah pandangan saya terhadap masyarakat Papua itu sendiri.

            Kesimpulannya pada sub-kedua Bab tiga ini mengenai penguatan negara dan integrasi nasional. Suatu integrasi nasional dan penguatan negara memang sebuah kebijakan nasional, dimana hanya mungkin terlaksana apabila warga/ masyarakat Indonesia merasa menguntungkan dengan adanya kebijakan tersebut. Sehingga perlu adanya kesadaran dimulai dari individu, kelompok, dan satuan masyarakat.
            Saya kutip dari buku ini, bahawa Integrasi nasional dapat hidup dalam masyarakat apabila semua hak-hak serta kewajiban diperhatikan dengan memegang teguh pada prinsip demokrasi, demokrasi bukan hanya pada tingkat ideologi saja, atau hanya berlaku pada tingkat makro, tetapi harus berlaku dalam kehidupan nyata.
            Mengenai Papua, persoalan yang ada seharusnya tidak hanya dilihat dalam aspek politiknya saja, namun kebudayaannya itu sendiri yang harus diperhatikan. Dan akan lebih baik apabila integrasi kebudayaan lebih digali dan diangkat ke permukaan agar menjawab persoalan di tanah Papua.

3.3    Integrasi Nasional dan Penguatan Negara
            Sebenarnya bahasan mengenai hal ini telah disampaikan sebelumnya di atas dengan lebih jelas, namun untuk tambahan dan kesimpulannya negara sebagai pelaksana amanah haruslah kuat dalam membela dan melindungi rakyat, namun tidak melakuakan intervensi demi kepentingan sekelompok orang atau pribadi dari elite penguasa.

3.4    Suatu Pendekatan Budaya dan Etika dalam Resolusi Konflik

Pola Pembangunan Sentralistik Rawan Konflik
            Integrasi Nasional di Indonesia mulai tumbuh semenjak penjajahan Indonesia oleh Jepang dan Belanda. Didukung dengan deklarasi Sumpah Pemuda yang semakin mengikat integrasi Nasional pada masyarakat Indonesia. Namun sayangnya kepemimpinan Soekarno pada saat itu lebih mementingkan dari bisang politik sehingga maraknya partai-partai politik dan menyebabkan presiden Soekarno turun. Dan Soeharto menggantikan dengan keberhasilannya menciptakan stabilitas keamanan dan integrasi nasional. Namun ketidapuasan rakyat dengan pemerintahannya yang militerisme, kemacaeta ekonomi yang membuata Soeharti juga turun. B. J. Habibie sebagai wakil presiden pada saat itu yang akhirnya menjadi presiden, menciptakan konsep demokrasi reformasi yang akhirnya dianggap rakyat Indonesia sebagai kebebabasan yang sebebas-bebasnya tanpa mementingkan nilai agama dan norma-norma yang berlaku yang mengakibatkan akhirnya Timor-Timur yang memisahkan diri untuk menjadi negara sendiri dengan nama Timor Leste.

Fenomena Konflik Indonesia
            Kebanyakan konflik di Indonesia sekarang lebih mengarah pada disintegrasi bangsa karena lunturnya pemahaman dan penerapan sebagian masyarakat Indonesia itu sendiri mengenai nilai-nilai budaya, etika, norma hukum dan agama. Banyak konflik yang terjadi di Indonesia, kerusuhan massal yang terjadi di Aceh (adanya Gerakan Aceh Merdeka karena adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi politik yang akhirnya mereda dengan deklarasi Helsinki), konflik Timor-Timur yang akhirnya lepas dari NKRI, konflik Ambon, dan konflik Kalimantan Barat (konflik antara etnis Dayak dengan Madura)

Fenomena Konflik Poso
            Pada sub ini penulis menjelaskan mengenai konflik Poso yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah. Dimana konfliknya itu sendiri dibagi menjadi 4 jilid. Berikut uraian saya dari apa yang saya baca mengenai konflik Poso:
Konflik Poso Jilid I (1998-1999)
            Awal terjadinya konflik Poso diceritakan bahwa ada seorang pemuda mabuk bernama Kristen yang yang menyerang seorang pemuda muslim di sebuah masjid kota Poso. Dan umat Islam yang marah tidak menemukan pemuda tersebut akhirnya took-toko yang menjual alkohol yang dibutuhkan oleh orang Kristen, mereka bakar. Pergantian Bupati Poso pada saat itu juga menimbulkan akar terjadinya konflik melalui berbagai macam rekaya politik oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan jabatan dan kekuasaan di Poso.
Konflik Poso Jilid II (April 2000)
            Merebaknya isu mengenai kota Poso akan mengalami lagi kerusuhan seperti yang terjadi pada tahun 1988 yang dihembuskan oleh Damsyik seorang anggota DPRD yang mengancam jika ia tidak dipilih menjadi Sekwilda Poso. Bersama dengan itu kerusuhan yang terjadi antara Lombogia(kristen) dan Kayamanya(Islam) (nama kelurahan) karena kenakalan remaja sehingga mengakibatkan 2 orang muslim Kayamanya meninggal, semakin menyulut konflik tersebut. Sehingga pada konflik Poso Jilid 2 ini permasalahnnya sangat kompleks yang meliputi kepentingan politik,  kenakalan remaja, dan keagamaan.
Konflik Poso Jilid III (Mei 2000)
            Akibat konflik jilid II terdengar kabar bahwa orang Kristen melakukan penyerangan terhadap orang Islam. Namun kabar itu dibantah oleh pemerintah setempat. Namun apa yang terjadi?pukul 03.00 dini hari aksi penyerangan terjadi. Yang mengakibatkan 1000 orang Islam tewas dan 15.000 umat Islam terbakar. Perbuatan biadab berupa pembunuhan massal ini menjadi konflik Poso III.
Konflik Poso Jilid IV (Juli-Desember 2001)
            Konflik Jilid IV adalah merupakan tindakan balasan dari umat Islam terhadap konflik Poso jilid III yang telah dilakukan umat Kristen. Namun yang membedakan adalah pada konflik Poso ke tiga, terjadi pemerkosaan dan pembunuhan secara massal dan sadis. Sedangkan konflik Poso jilid IV tidak terjadi hal yang demikian.

Deklarasi Malino sebagai Model Solusi Konflik
            Apabila konflik tersebut terus berlanjut maka ditakutkan akan timbul disintegrasi bangsa, namun Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono mengushakan agar dilakukannya rekonsilisasi di Malino Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Dan akhirnya terwujud lah deklarasi Malino pada tanggal 20 Desember 2001 yang berisi 10 item berikut bebrapa isinya mengenai perjanjian untuk mengakhiri konflik masyarakat muslim dan Kristen di Poso, menegakkan sikap saling menghargai dan memaafkan, pembangunan kembali sarana dan prasarana, menjalankan syariat agama masing-masing.

Strategi Membangun Integrasi Nasional dan Penguatan Negara
            Salah satu model yang dikatakan penulis untuk membentuk integrasi nasional dan penguatan negara adalah “pendekatan budaya dan etika”. Dimana penerapannya melalui pendidikan multicultural dan etika. Dengan paradigm multicultural ini diharapkan manusia mempunyai kompetensi budaya yang meliputi: keterbukaan sikap, kesadaran akan diri dan orang lain, pemahaman budaya, dan keterampilan budaya (komunikasi antar kelompok etnis melalui media kesenian). Dan untuk mewujudkan masyarakat multikultural Indonesia, diperlukan pendekatan etika. Dan menurut Leonardo Boff ada lima etika yang harus diterapkan yaitu, etika simpati, etika solidaritas, etika tanggung jawab, etika dialog, dan etika suci. Sehingga diharapkan ketika lima etika tersebut diterapkan dalam kehidupan masyarakat maka tidak akan lagi persoalan perbedaan etnis, warna kulit, bahasa, bangsa dan agama.

3.5    Nasionalisme Kenegaraan (Orde) Baru : Dikaji Ulang
            Sejak peristiwa Reformasi Mei 1998, menarik bahwa yang terjadi di Indonesia adalah justru gejala tdak sejalannya antara gagasan nasionalisme dan demokrasi. Hal yang satu bicara tentang keutuhan atau kesatuan kebangsaan, dan hal yang lain menginginkan kekuasaaan kenegaraan (atas nama) “rakyat”, khususnya di pemerintahan daerah.
           
Penyambung Lidah Rakyat
            Berbicara mengenai nasionalisme maka tidak akan jauh dari kepemimpinan nasional. Sejauh mana seorang pemimpin berperan sebagai “penyambung lidah rakyat”, dan penulis disini menginginkan kita untuk berpikir kritis bahwa, mungkinkah suara rakyat bisa tersampaikan apabila hanya “bahasa kosong” yang diucapkan para pejabat Orang-orang yang jujur dan benar-benar menyuarakan apa yang diingikan rakyat memang sangat sulit dan langka ditemui di jaman sekarang ini.

Nasionalisme Kerakyatan
            Semakin menjamurnya KKN (Korupsi, kolusi dan Nepotisme ) dan bahasa kosong di negara Indonesia ini, menjadi akibat sulitnya demokrasi untuk diterapkan. Oleh karena itu perlu adanya keasadaran dari masyarakat Indonesia untuk kembali pada rasa nasionalisme yang kini telah hilang khususnya dalam demokrasi, dengan begitu baru bisa membentuk suatu NKRI yang seutuhnya.
                       
                       

BAB IV
PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DAN KEBUDAYAAN

Pendahuluan
Pada Bab ini sebenarnya pembahasannya berkaitan pada Bab III, dimana sebagai pengaplikasian/penerapan untuk integrasi nasional dan penguatan negara yaitu dengan pembangunan Karakter bangsa dan kebudayaan.
Perkembangan Globalisasi dangat cepat kita rasakan, hanya dalam hitungan jam, menit, bahkan detik, kita bisa “melintasi dunia”. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah karaker Indonesia yang seperti apa yang mampu menghadapi globalisasi yang kompetitif?dan bagaimana pembentukan karakter tersebut di tengah-tengah keanekaragaman penduduk Indonesia?
4.1    Pembangunan Karakter Bangsa
Mentalitas suatu bangsa bisa mendorong atau malah menghalangi pembangunan. Membangun karakter bangsa berarti membangun keunggulan, daya saing dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dimana hal tersebut sebagai tolok ukur dalam meningkatkan daya saing bangsa kita di tingkat global. Sehingga untuk menumbuhkan daya saing nasional adalah dengan menumbuhkan mayarakat industrial, dibahas bahwa diharapkan dalam hal ini universitas dapat membentuk pola tersebut berupa pengajaran dengan lintas-disiplin. Sehingga dengan begitu akan mampu mengurangi kerentanan masyarakat di tengah kepungan industri kapitalisme global.
4.2    Generasi Muda Indonesia: Siapa dan Bagaimanakah mereka?
Siapakah “Generasi Muda Indonesia?”
Apabila kita merujuk pada konsep demografi, maka yang dimaksud generasi muda adalah penduduk dalam tahap persiapan angkatan kerja  atau usia produktif. Dan generasi muda adalg generasi yang sedang dalam tahap peralihan dari tergantung baik secara sosial-ekonomi ke tahap mandiri secara sosial-ekonomi. Diperkirakan generasi muda di Indonesia ini sebanyak 62 juta jiwa.
Generasi muda dalam konsep batasan sosial budaya, berbeda halnya ketika generasi muda kita lihat dalam konsep demografi yang bisa kita gambarkan dengan jelas, namun dalam konsep sosial budaya ini generasi muda sangat terkait dengan keseluruhan masyarakat Indonesia.

Bagaimanakah Keadaan Generasi Muda Indonesia?
Untuk menjawabnya penulis menyajikan nya dalam berbagai aspek yang perlu dilihat. Dalam hal pendidikan, yang bisa kita lihat bahwa dalam hal pendidikan generasi muda kita sebenarnya bisa bersaing dengan “orang-orang luar”, namun tidak banyak yang mempunyai kenginan dan tekad yang sungguh-sungguh untuk bisa bersaing dengan dunia luar. Mungkin ketidakpercayaan diri yang belum kita miliki sepenuhnya untuk bersaing dengan orang lain. Apabila melihat kurikulum yang sering kali mengalami perubahan tentu akan berdampak pada proses pembelajaran itu sendiri yang setidaknya mengalami dampaknya. Dalam hal pendidikan pula kita lihat para kebanyakan para buruh sekarang sebenarnya mempunyai gelar S1 atau D3. Sangat risakan memang ketika kita berbicara khususya saya sendiri, melihat keadaan generasi muda sekarang ini (termasuk saya) yang terbelenggu dalam keadaan seperti ini.
Dalam hal penghidupan, bagaimana keadaan generasi muda kita?dalam hal penghidupan itu sendiri kita bisa lihat anak yang masih berumur kurang lebih dibawah 10 tahun sudah bekerja untuk mencari nafkah bagi keluargnya, baik itu menjadi pengamen atau pemulung sekalipun. Human Trafficking, alias perdagangan manusia khususnya perempuan merupakan suatu fenomena yang terjadi di Indonesia. Ini mengisyaratkan apa?ini mengisyaratkan bahwa kualitas ekonomi yang rendah yang berdampak pada kualita penghidupan itu sendiri.

Generasi Muda Indonesia di Tengah Gelombang Globalisasi
Apa yang terjadi pada keadaan generasi muda kita ini tengah globalisasi?dalam buku ini memang pembahasan yang ada lebih kepada dikelompokkan agar kita lebih mudah untuk bisa berpikir kritis akan apa yang terjadi disekitar kita. Disini kita bisa melihatnya dalam sudut Migrasi, di Indonesia yang disebut sebagai pahlawan devisa itu adalah para TKI dan TKW, mereka para pekerja yang mencari uang diluar Indonesia beralasan bahwa faktor ekonomi yang memaksa mereka bekerja seperti itu. Contoh lainnya kita bisa lihat, banyak anak Indonesia sekarang yang berlomba-lomba untuk kuliah diluar negeri karena dengan mendapatkan ijazah Internasional dan kembali kedalam negeri maka mereka berharap akan mendapatkan kedudukan yang baik dalam lapangan kerja, sehingga belajar di luar negeri pun menjadi idaman dari sebagian generasi muda kita. Dalam hal Telekomunikasi tidak dapat dipungkiri bahwa kecanggihan teknologi sekarang ini membuat orang semakin mudah untuk berhubungan dari jarak sejauh apapun. Namun apa akibatnya? Banyak masyarakat kita yang meniru gaya hidup orang “luar” yang dilihatnya, dan kebanyakan mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kelunturan budaya dan pondasi budaya yang tidak kuat yang menjadi salah satu faktor itu terjadi. Dilihat dalam aspek LSM, lembaga swadaya masyarakat. Para sarjana yang telah lulus banyak menjadikan LSM ini sebagi batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan. Keadaan LSM di Indonesia ini memang cukup membantu karena bantuannya itu sendiri pun datang dari berbagai lembaga bantuan pembangunan dunia..
Percampuran dan Pegkristalan Identitas. Bagaimana kita menyebut gejala keragaman dan campur aduk pengungkapan identitas generasi muda seperti ini?Dalam perkawinan saja apabila kita contohkan maka, banyak sekarang ini perkawinan campur antaretnis dan antarbangsa. Dan disini agama yang berfungsi mempersatukan umat, ternyata juga berfungsi sebagai pembeda-pemisah yang sangat kuat. Terjadi pengkotatakan antar agama itu sendiri.
Kesimpulannya kaitan antara keadaan generasi muda skarang ini dengan karakter bangsa, yang didukung dengan globalisasi, maka ada dampak positif dan negatif yang dapat kita ambil. Namun pada intinya dari apa yang say abaca adalah untuk terwujudnya karakter bangsa yang unggul tentu masih terlalu jauh. Disini peranan negara sangat penting untuk mendukung para generasi penerus bangsa ini agar tetap memajukan kehidupan bangsa ini.

4.3    Membangun Kembali Karakter Bangsa: Suatu Diskusi Teoritis
Dalam sub bab ini sebenarnya dalam bahasan bukunya memerlukan penjelasan yang lumayan panjang lebar, namun saya akan mencoba untuk memaparkannya secara lebih ringkas namun tetap tertuju dengan apa yang dimaksud untuk diuraikan.


Bangsa Sebagai Prinsip Politik
            Apabila kita mengutip apa yang dikatakan Ernest Gellner (1983) tentang nasionalisme: “Nasionalisme adalah prinsip politik, yang berarti bahwa satuan nasion (bangsa) harus sejalan dengan satuan politik. Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai gerakan, paling tepat didefinisikan dalam konteks prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah kondisi emosional berupa ketidakpuasan yang timbul akibat pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini dijalankan dengan baik. Gerakan nasionalis diaktualisasikan oleh sentimen semacam ini”. Ini membuktikan apa?pernyataan mengisyaratkan bahwa memang sebuah beangsa sebagai prinsip politik, dan apabila ditinjau dari perpspktif yang berbeda dari nasionalisme itu sendiri yang merupakan prinsip politik.

Nasionalisme Sebagai Fenomena Kultural
            Untuk melihat karakter bangsa bisa kita lihat dari masyarakatnya itu sendiri. Dan sekarang bagaimana kita bisa melihat karakter dari masyarakat Indonesia yang bersumber dari masyarakat? Kita bisa mlihatnya dari ekspresi yang terpancar dari kebudayaan masyarakat.
Negara-Bangsa
            Negara Bangsa memiliki administrasi birokrasi dan undang-undang tertulis yang meliputi semua warga negara, dan memiliki sistem pendidikan yang seragam di seluruh negeri, dan pasar tenaga kerja yang sama bagi semua warga negara. Hampir semua negara-bangsa di dunia miliki bahasa nasional yang digunakan untuk komunikasi resmi. Suatu cirri khas dari negara bangsa adalah konsentrasi kekuasaan yang luar biasa. Cukup jelas bahwa Indonesia adalah salah satu contoh negara-bangsa.
Karakter Bangsa: Pergulatan antara Nation-State dan Welfare-State
            Nation State adalah negara yang memancarkan karakter bangsa berupa kebebasan. Namun banyaknya kebebasan disini disalahartikan dimana jadinya negara hanya menjadi fasilitator karena kebanyak kepntingan politik dan ekonomi. Berbeda halnya dengan Welfare State, yakni negara yag mengutamakan kesejahteraan warganya tanpa harus memosisikan ideologi kebangsaan yang kental sebagai sentralnya. Jadi piihannya sekarang kita ingin menjadi Welfare State atau Nation State?
4.4    Membangun Karakter Bangsa Dalam Perspektif Papua
Bahasan kali ini bertujuan untuk membahas tentang suatu fenomena yang terjadi di Tanah Papua yang penulis namakan “perilaku menyimpang” dari kelompok elite tertentu di Tanah Papua sebagai contoh untuk memperlihatkan pengaruh pengalaman sejarah peradaban yang berbda terhadap proses penerimaan modernisasi. Dicontohkan bagaimana munculnya perilaku menyimpang pada kelompok elite di Tanah Papua dan apa dampaknya terhadap pembangunan?
Semenjak adanya kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah pada masyarakat Papua yang asalnya hanya memiliki 14 kabupaten/kota menjadi 34 kabupaten /kota. Apa yang terjadi setelah itu? tentu perlu adanya  pemimpin untuk memimpin daerah tersebut. Singkat cerita para masyarakat Papua menganggap bahwa yang dinamakan otonomi daerah adalah kebebasab masyarakat untuk memilih darimana asal pemimpin itu sendiri. Masyarakat Papua merasa bahwa seorang pemimpin itu haruslah putera daerah disan dan tidak boleh dari daerha lain, karena mereka menganggap ya otonomi daerah tadi dan menggap bahwa akan lebih berhasil dalam membangun daerahnya karena berasal dari masyarakat itu sendiri dan lbih tau apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Sehingga prsyaratan formal dan kualitas pemimpin pun dinomorduakan. Setelah pengangkatan tersebut banyak warga atas kepentingan pribadi meminta bantuan untuk kebutuhannya dimulai dari transportasi anak skolah, mengongkosi upacara adat, atau alasan untuk berobat keluarga. Pertamanya seorang pemimpin disana mungkin bisa mengatasinya karena ada dana bantuan sosial untuk kepentingan seperti itu yang disebut dana taktis, namun semakin kemari dana taktis akan semakin menipis dan akhirnya membuat seorang pemimpin disan untuk mengambil dana pembangunan untuk kepentingan tersebut. Disini mulai terjadi perilaku menyimpang. Akhirnya untuk menghindari para warga, pemimpin disana berdiam di rumah dengan alasan sakit dan akhirnya karena tidak tahan di rumah juga sesperti terkurung ia jadi beralasan untuk pergi dinas ke luar kota, dengan dana apa?tentu dana yang seharusnya untuk pembangunan masyarakat.
Dari contoh peristiwa tersebut ada dua hal yang perlu disikapi, penggunaaan dana pembangunan untuk kepentingan kelompok dan pribadi dan ktidakmampuan soeorang pemimpin untuk mengemban tugas yang telah diberikan. Namun perlu juga disini menyikapi pengetahuan masyarakat mengenai otonomi daerah itu sendiri. Sehingga apa yang dianggap baik dan benar oleh suatu kebudayaan tertentu belum tentu mendapat penilaian yang sama dari kebudayaan lain. Dengan belajar seperti ini maka kita diharapakan untuk berpikir kritis untuk membangun karakter bangsa yang dicita-citakan.

4.5         Kebijakan Pembangunan Karakter Bangsa: Suatu Tinjauan Prospektif
Karakter Bangsa yang Harus Dimiliki
Dalam buku Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Koenjaraningrat telah mengidentifikasi setidaknya lima mentalitas, karakter atau sifat bangsa Indonesia yang menghambat pembangunan yakni : (1) mentalitas meremehkan mutu; (2) mentalitas suka menerabas; (3) sifat tidak percaya kepada diri-sendiri; (4)sifat tidak berdisiplin murni; dan (5) sifat tidak bertanggung jawab. Dilihat dari penjelasan di atas, artinya karakter bangsa yang harus dimiki bangsa Indonesia itu seperti apa? Pertama, berarti sifat menghargai mutu/ kualitas. Kedua kesabaran untuk meniti usaha dari awal. Ketiga adanya rasa percaya diri karena yakin dirinya berkualitas. Keempat sikap disiplin dalam waktu dan pekerjaan, dan kelima adalah sifat mengutamakan tanggung jawab.

Strategi Kebijakan Karakter Bangsa
Mewujudkan suatu kebijakan tentang pembangunan karakter bangsa dari tinjauan prospektif bukanlah hal yang mustahil dilakukan, melainkan dapat dilaksanakan dengan berbagai startegi, antara lain: (1) Membangun kesadaran dari komitmen bersama bahwa tema pembangunan karakter bangsa merupakan tema besar dan penting bagi pembangunan bangsa dan negara. Bahwa pembangunan nasional haruslah dimaknai sebagai pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa. (2) Untuk mencapai hal tersebut pada poin satu, maka dibutuhkan dukungan pemikiran dari berbagai disiplin ilmu, tentang bagaimana merumuskan konsep pembangunan karakter bangsa ke dalam pembangunan nasional. Disinilah peran para ilmuwan yang ikut aktif dalam merumuskan konsep dari pembangunan karakter bangsa yang disebutkan Koentjaraningrat.



BAB V
KEBUDAYAAN DAN LINGKUNGAN

Pendahuluan
Pada Bab ini sebenarnya lebih kepada refleksi pemikiran dari apa yang ada disekita kita selama ini, sadar akan kearifan lokal yang masih terjaga sampai sekarang dan yang membantu dalam melestarikan lingkungan dan kebudayaan bangsa Indonesia.

5.1    Swadaya dan Kolaboratif Komunitas Adat dalam Melestarikan Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Tanpa kita sadari dari apa yang ada disekeliling kita sebenarnya kaya akan kebudayaan yang tidak negara lain miliki. Disni dicontohkan mengenai bagaimana interaksi manusia dengan hutan yang dipresentasikan oleh warga Kasepuhan yang hidup tersebar di berbagai kampung di sekitar daerah Banten Selatan, Bogor Selatan, dan Sukabumi Selatan di kawasan Gunung Halimun di Jawa Barat.
Di kalangan warga Kasepuhan terdapat anggapan bahwa alam semesta itu sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Mereka beranggapan setia makhluk hidup di alam jagad raya ini memiliki masing-masing ruang dan hak hidup. Keyakinan mereka bahwa terganggunya keteraturan hubungan sebagai komponen fisik dan non-fisik yang hidup di alam jagat raya ini, dapat menimbulkan malapetaka bagi kehidupan  manusia. Dalam bahasan ini sangat dijelaskan bagaiaman mereka sangat menjunjung tinggi kebudayaan yang mereka miliki yang didapat dari nenek moyangnya. Untuk mencapai rasa manunggal, warga Kasepuhan mengembangkan suatu konsep ajaran, dasar moral, yang mereka sebut “ngaji diri”. Konsep ajaran tersebut dapat diartikan sebagai “mawas diri” atau “memahami diri sendiri” yang didalamnya tercermin pula pengertian “koreksi diri”. Ini mencontohkan kepada kita bahwa apa yang kita sebut sebagai sesuatu yang kuno dalam hal ini kebudayaan, malah kita yang sepertinya tertinggal oleh mereka, konsep mawas diri yang sangat mereka tanamkan sebenarnya kita telah mengetahuinya, namun mungkin implementasi dari mawas diri yang kita lakukan tidak bisa berjalan dengan baik seperti mereka, persaan untuk tidak membenci dan iri kepada orang lain yang merupakan sifat buruk manusia.
Menurut mereka agar kehidupan diri manusia itu selaras maka ucap jeung leumpah(ucapan dan perbuatan) harus seirama. Dimana ada ungkapan yang menjadi pedoman mereka, “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, dahar kudu halal, kalawan ucap kudu sabenerna, mupakat kusu sarerena, naghulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara”.
Dilihat dalam persepsi tentang hutannya pun mereka membagi kawasan atau membagi tiga jenis hutan disekitar lingkungan hidupnya yaitu : (1) Leuweung Kolot atau hutan tua yang mereka anggap sebagai hutan lebat yang tidak boleh dieksploitasi oleh manusia (2)Leuweung Titipan disebut sebagai hutan keramat, hutan yang  hanya boleh digunakan warga Kasepuhan apabila sudah ada perintah dari nenek moyang mereka, yang disampaikan melalui wangsit atau ilapat yang diterima sesepuh girang.(3) Leuweung Sempalan. Hanya hutan inilah yang trbuka untuk digarap setiap saat oleh warga Kasepuhan dalam usaha mendukung hidup mereka. Mereka beranggapan bahwa baik leuweung kolot maupun leuweung titipan harus dijaga kelestariannya dan terhindar dari “tangan jahil manusia”.
Struktur Kalender Pertanian mereka juga sangat baik, kapan mereka bisa bertani mereka berpedoman pada dua jenis bintang yaitu bintang Kidang dan bintang Kerti.
Dari percontohan diatas, sebenarnya menyadarkan khususnya saya sendiri sebagai masyarakat Sukabumi (yang asalanya tidak tahu) bahwa kita mempunyai Kebudayaan yang patut jaga yaitu Waraga Kasepuha, merefleksi pemikiran kita bahwasanya kearifan lokal yang itu bisa menjadi contoh bagaimana mereka menjaga masyarakat yang ada dengan persatuan yang erat dan pedoman yang jelas. Bagaimana mereka sangat mematuhi aturan dan adat yang berlaku ditempatnya dan bagiaman mereka dengan baik mengelola hutan dan lingkungan yang mereka punya untuk memajukan dan mensejehterakan masyarakat mereka sendiri. Seharusnya kita bisa menyadari bahwa dengan adanya mereka, sangat berperan dalam menajaga lingkungan dan kebudayaan yang Indonesia miliki. Bukan hanya mengatasnamakan kepentingan bersama namun untuk tujuan kepentingan individu. Disini membuka pikiran saya khususnya pembaca untuk lebih memperhatikan kearifan lokal yang brada disekitar kita yang patut dijadikan contoh dan kita jaga sebagai warisan budaya bangsa yang Indonesia miliki sampai saat ini.
5.2    CSR Dalam Penyelenggaraan Lingkungan dan Sumber Daya Alam Indonesia

Bahasan ini lebih kepada peran CSR (Corporate Social Responsibility), dimana tulisan ini adalah tentang sumber daya alam yang dipusatkan kepada kegiatan pertambangan dalam arti luas, dengan demikian juga mencakup sub-sektor minyak dan gas bumi, namun tidak mencakup sekotor-sektor lain dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam seperti kehutanan, kelautan, dan perkebunan.
CSR adalah komitmen untuk berperilaku etis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, melalui kerja sama denga semua pemangku kepentingan guna memperbaiki kehidupan mereka dengan cara yang bermanfaat bagi bisnis, agenda pembangunan berkelanjutan maupun masyarakat pada umumnya.
Sehingga dalam bahasan ini lebih menjelaskan pada dampak positif dan negatifnya CSR dalam pertambangan. Dimana sebenarnya masyarakat didaerah pertambagan lebih menerima dampak negatif dari pertambangan yang baik itu berupa libah, ataupun kebijakan pembagian hasil dari pertambangan itu sendiri yang sebenarnya miliki mereka.

5.3    Praktik-Praktik Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ancaman Bencana Ekologis di Indonesia
Tak bisa dipungkiri, semakin banyaknya pembalakan liar (Illegal logging) menjadi ancaman besar bagi hutan Indonesia. Tanpa adanya penanaman kembali dengan baik tentu hutan kita akan tumbuh begitu saja dengan cepat seperti kita ketika menyeduh kopi. Ketika kopi habis kita bisa membuatnya lagi dengan mudah. Namun bagaimana dengan hutan? Siapa yang dapat bertanggung jawab dengan semua ini? saya?kita?negara?ataukah anda (para pembalak liar)? Kekuasaan pemerintah disini sangat berpern penting untuk menjaga hutan kitan. Andai saja pemerintah bisa lebih tegas dalam meyikapi illegal logging, maka tidak aka nada hutan yang “ujug-ujug hilang/terbakar”. Namun mungkin sebeum “mereka” sadar kita sebagai yang sudah “sadar” untuk membantu menjaga hutan kita dengan baik.
Selain mengenai hutan, dalam hal kelautan dan pertambangan juga praktik-pratik penyimpangan SDA juga semakin tinggi, apabila mengenai pertambangan telah kita jelaskan tadi sebelumnya diatas, dan untuk maslah kelautan. Banyak dari pesisir pantai Indonesia sekarang ini lebih banyak dijadikan kawasan untuk usahasperti mall dan pertokoan yang tentu nantinya akan berdampak pada ekosistem tersebut.
Ancaman serius di depan ada pada masalah air, energi, dan pangan. Contohnya di Jakarta saja kita bisa mengetahui bahwa mereka kurang bisa mendapatkan air bersih, dan banyak dikabarkan bahwa air di Jakarta sebenarnya sudah tidak layak pakai. Mungkin Jawaban yang bisa kita ambil untuk pemecahannya itu sendiri dengan kpempinan nasioanal yang kuat, efektif, dan berpihak pada kepentingan rakyat.  Dan kedua membangun rakyat kritis, kritis terhadap situasi yang terjadi di Indonesia sekarang ini, kritis akan ancaman yang sedang  mengintai kita. Sehingga diharapkan hanya dengan rakyat kritislah percepatan terjadinya perubahan Indonesia yang berdaulat dan bermartabat dapat tercapai.

5.4    Manusia dan Lingkungan Hidup
Dalam bahasan ini, yang terakhir lebih kepada bagaimana kita sebagai manusia untuk bisa menjaga lingkungan sekitar kita, lingkungan hidup yang menjadi penghidupan kita, kehidupan dimana kita hidup dan berasal. Jangan samapi kita memperebutkan sumber daya alam dan lingkungan yang seharusnya kita jaga, apabila hal tersebut tidak bisa dikendalikan maka gerakan terrorism yang dilakukan oleh negara adidaya maupun oleh kelompok-kelompok kecil akan terus meningkat dalam jumlah maupun intensitasnya. Karena itu diperlukan kesepakatan bersama untuk menata ulang pola-pola hubungan antarsesama manusia dan manusia dengan lingkungannya dengan memerhatikan keadilan sosial, demokrasi politik, dan kebebasan budaya.









BAB VI
PENUTUP

          Pada bagian penutup ini saya akan sedikit menyimpulkan apa yang telah dibahas di atas hasil dari apa yang saya analisis dari buku Perspektif Budaya ini, dan hasil dari apa yang saya dapat setlah membaca buku ini. Saya simpulkan bahwasanya dalam hal ideologi atau keyakinan kita akan bangsa ini tentu harus berdasarkan pedoman yang kita junjung selama ini yaitu Pancasila. Tidak banyak orang yang berpikir untuk selalu berpikiran maju kedepan tanpa adanya krisis percaya diri atau meremehkan mutu seperti apa yang Koentjaraningrat tulis dalam bukunya mengenai Mentalitas bangsa Indonesia. Meskipun arus Globalisasi semakin tumbuh dan berkembang di Indonesia, apabila kita mempunyai pondasi yang kuat untuk menghadangnya maka, pengaruh-pengaruh Globalisasi tidak akan brdampak pada apa yang menjadi budaya dan ciri khas dari masyarakat Indonesia. Dimana akan terlihat ciri atau karakter dari bangsa Indonesia itu sendiri dari ekpresi kebudayaan yang terpancar dari masyarakatnya. Bagaimana masyarakat menjaga kearifan lokal yang ada seperti masyarakat Kasepuhan dan terus membantu untuk melestarikan lingkungan seharunya membuka pikiran kita sebagai genrasi penerus bangsa (khususnya saya sendiri), untuk “melek” budaya yang ada disekitar kita yang merupakan warisan yang harus kita jaga dan lestarikan sebagai kekayaan yang dimiliki Indonesia. Bahaya apapun yang sedang mengancam kita kedepannya, selam kita bersama, bersatu untuk mngahadapinya, maka apaun yang akan terjadi dapat kita hadapi dengan baik. Seperti pada akhir bab V dikatakan bahwa hanya rakyat yang kritis lah perubahan dapat terjadi, kritis terhadap situasi yang terjadi di Indonesia sekarang ini, dengan begitu seorang pemimpin akan malu dengan kepemimpinannya, ketika rakyat lebih kritis dari apa yang mereka duga. Membaca buku ini, membuka critical thinking, kemampuan berpikir kritis saya akan keadaan di Indonesia, membuka cakrawala pengetahuan yang sebelumnya tidak saya ketahui, mengetahui keadaaan sosial yang tidak saya sadari, melihat kearifan lokal yang tidak terjamah sebelumnya dan bahkan tidak saya ketahui sebelumnya sebagai masyarakat Sukabumi, sebelum saya membaca buku ini. Semoga apa yang saya analisis dari buku ini, dari apa yang saya pahami setelah membaca bukunya, dapat bermanfaat bagi pembaca. Sehingga dapat terbentuk karakter bangsa yang kita harapkan kedepannya untuk kemajuan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Penyunting Widianto, Bambang dan Pirous, Meulia. (2009). Perspektif Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.





[1] Penyunting Widianto, Bambang dan Pirous, Meulia. (2009). Perspektif Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman: 75.
[2] Penyunting Widianto, Bambang dan Pirous, Meulia. (2009). Perspektif Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman: 76
[3] Penyunting Widianto, Bambang dan Pirous, Meulia. (2009). Perspektif Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman: 96